jurnalis gunung

SIALAN. Harusnya aku pulang kampung hari ini. Eeee... gara-gara di Magelang hujan deres banget jadinya ketunda deh. Padahal aku dah siapin semuanya, termasuk liputan dan nulis berita cepet2. Tapi gimana lagi, kehendak alam itu tak bisa ganggu digugat.

Sebelumnya juga hujan derez banget. Dah gitu aku gak bawa rain choat lagi. Terpaksa pas aku balik dari pemkot numpan berteduh di emperan gereja. Dua minggu lalu SMP/SMA di dekatnya diteror bom orang 'gila', untung gak dibom beneran. Karena hujannya gak mandeg, terpaksa deh nerobos. Basah2 deh.

Kalo hujan campur angin gitu, siap-siap aja hadapi musibah. Inget gak kalo dua minggu lalu satu desa di Magelang kena longsor? 10 orang menjadi mati dan 16 anak yatim. Memang, jadi jurnalis di daerah itu selain perlu otak encer juga wajib punya otot yang tokcer. Kalo dua faktor itu gak imbah bisa-bisa tewas beneran pas liputan di alam. Meski tak kuat banget, tapi aku bersyukur pernah ikut menwa waktu kuliah dulu.

Naik gunung turun gunung itu dah biasa bagi jurnalis didaerah apalagi di Magelang yang banyak gunungnya. Ada Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing lalu ada bukit menoreh dan bukit-bukit kecil yang aku tak inget nama-namanya. Aku jadi inget masa-masa susah liputan erupsi merapi, terbakarnya gunung sumbing dan merbabu, puting beliung di lereng merbabu, tanah longsor dan laen-laen. Semua itu musti dijalanin dengan sabar.

Nah, pas waktu longsor di Windusari lokasinya jauh banget. Kata warga setempat hanya 2 kilo jalan kaki. Tapi pas diantar seorang warga menuju lokasi ternyata jauh banget. Aku yakin lebih dari 2 kilo seperti kata warga itu. Terlebih lagi, jalan setapak yang musti dilalui licin banget karena diguyur hujan.

Aku seh berdoa cepat2 aja dipindah dari daerah... Kalo dah gitu pengen rasanya punya surat kabar sendiri. Bisa nggak seh.

Eh kalau aku inget rumah, aku jadi inget puisiku tentang kampungku yang pernah aku tulis di KR tahun 2004 lalu;

Gunung Rawa:
lihatlah sapi-sapi itu seperti itik putih yang bergerak
juga danau yang mengering itu bagai tanah yang berkerak
tinggal mengikis mencari sisa ikan yang entah kapan menghilang
dan rata rumput yang menghampar seperti savana kecil
dikelilingi bukit yang tinggi

jangan simpan hari ini untuk terpejam
karena tenaga untuk bernafas itu kita habiskan
keluarkan sore ini karena malam akan menyimpan
keindahan untuk mereka yang bermimpi
hingga tak dapat lagi kita saksikan dari kejauhan
karena hanya ada gelap dan suara binatang

naik lebih tinggi agar terlihat kota di bawah sana
mungkin juga cerobong pabrik tempat kita bekerja
bagai keluk putih membumbung tinggi mengapai angkasa

bernafaslah dalam-dalam, teriakkan semua beban
buang udara yang tersisa lalu simpanlah dalam rongga
jangan kau tulisi namamu di atas pualam
lukis saja di dalam ingatan
karena ia abadi bersama kenangan

suatu waktu entah karena angin atau hujan
kau terdampar pada malam yang kelam
ingatlah bahwa pernah kau bercumbu dengan alam

Tlogowungu, 2004

Komentar

Postingan Populer