Tanam Padi Panen Jerami

AKHIR-akhir ini pak Bambang Daryono punya kebiasan baru. Pak Dar (seorang petani di Dusun Salakan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang Jateng) itu kini selalu ngajak anjingnya setiap pergi ke sawah.

Bukan lantaran hobi atau gaya bak pencinta hewan. Namun pak tani yang kini punya padi siap panen itu membawa anjingnya agar dapat membantu memburu tikus yang menghabiskan bulir padi miliknya.

Aku yakin, bagi Pak Dar maupun petani lainnya, ketimbang manfaatnya tikus memang lebih banyak dampak buruknya. Ibarat kata, para petani yang miara sawah dengan tetesan keringat, darah dan air
mata, tapi tiba-tiba semuanya ludes oleh ulah tikus.

Selain memburu tikus dengan anjing, Pak Dar yang puluhan tahun
jadi petani itu telah melakukan berbagai hal. Seperti menggunakan racun yang dipasang di lubang persembunyian tikus melalui kepiting sawah yang bagian dalam tubuhnya telah kasih racun.

Catatan pengamat hama penyakit tanaman pangan setempat, wilayah Pak Dar merupakan salah satu dari 12 kecamatan di kabupaten itu yang terserang hama tikus. Artinya, ada ratusan petani di 11 kecamatan lainnya yang bernasip sama seperti Daryono itu.

Maka teori tabur tuai yang selama ini dipercaya, siapa menabur dia yang menuai tidak berlaku lagi. Karena sekitar tiga purnama lalu petani menamam benih padi tapi tiga purnama kemudian dia hanya bisa menuai jerami. Sebab bulir padnya habis dimakan tikus.

***

Melihat kenyataan itu aku jadi inget ma bapak ibuku yang ada di kampung. Juga tentang masa kecil dan remajaku yang dekat dengan sawah. Tentang semua yang berbau pertanian, juga keluargaku yang sebagian ekonominya ditopang sektor pertanian.

Aku benar2 bisa merasakan bagaimana perasaan para petani itu, ketika sawah yang sudah hampir panen tiba2 dibabat habis tikus lebih dulu. Sakit benget,tapi gak tau kepada siapa. Jengkel, sedih, geram dan tak bisa berbuat apa2.

Aku pernah merasakan, bagaiman beratnya bergulat dengan terik matahari. Saat orang kantoran belum terbangun, petani sudah bergelut dengan lumpur di sawah. Saat para pegawai sudah tidur nyenyak di rumah (selingkuhannya), para petani musti terjaga menengok aliran air di sawah.

Aku mengerti sebab aku dibesarkan dalam tradisi petani, meski darah seorang pedagang pun mengalir dalam tubuhku. Aku bangga ditakdirkan sebagai anak petani. Dididik dengan kerja keras dan kemandirian serta belajar menjunjung sebuah kejujuran.

Itulah barangkali, kenapa aku suka menulis tentang sawah, tentang para petani, orang dusun dan pedesaan maupun kearifan di lereng bukit. Dengan itu semua, aku seperti mengaca dari mana asalku. Sebuah perkampungan yang terbelah jalan pantura sebelah utara pulau jawa.

bersatulah anak-anak petani seluruh dunia

Komentar

Postingan Populer