jembatan gantung

SEBELUM tahun 1984, masyarakat yang tinggal di wilayah Guntur Desa Rejosari, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang menyeberangi Kali Progo agar cepat sampai ke Kota Magelang. Ketika air sungai meluap pada musim penghujan biasanya warga menyewa jasa gethek. Sedangkan pada musim kemarau saat sair sungai surut banyak masyarakat yang nekat menyeberang dengan menuruni sungai.

Bagi warga Rejosari dan sekitarnya, menyeberang sungai merupakan jalan pintas untuk sampai ke Kota Magelang. Hanya dengan menelusuri pematang sawah mereka sudah tembus di Kampung Ngembik Lor, Kelurahan Kramat, Kota Magelang. Meski sangat berbahaya, jalan tembus tersebut banyak dilalui para pedagang, karyawan, maupun buruh yang bekerja di pasar.

Baru pada tahun 1984 seorang warga Kampung Gembik, mempunyai gagasan untuk membuat jalan yang menghubungkan warga sehingga tidak perlu turun ke sungai. Gagasan Kojin yang juga pernah menjadi penyedia jasa Gethek di sungai tersebut didasari atas keprihatinan banyaknya korban warga meninggal karena hanyut di sungai.

“Ddalam satu tahun pasti ada saja warga yang hanyut di sungai,” ungkap Kojin mengisahkan bagaimana awal mula berdirinya jembatan gantung yang dikelolanya, Rabu 30 Agustus 2006.

Dari catatannya kurang lebih 28 orang mejadi tumbal keganasan arus Kali Progo. Kebanyakan para korban tersebut nekat menyeberang sungai saat alirannya sedang deras. Apa yang terjadi, sesampainya di tengah sungai ada yang tidak kuat menahan desarnya arus, kemudian terseret dan akhirnya tenggelam.

Pada waktu itu, bersama seorang warga, Kojin mendirikan jembatan sederhana yang membentang di atas Kali Progo. Sayang, jembatan itu hanya kuat bertahan sampai ketika banjir besar pada tahun 1989 membawa serta jembatan tersebut.

Tak pantang menyerah, pada tahun yang sama, pria kelahiran tahun 1952 tersebut berniat mendirikan kembali bangunan jembatan yang sama. Tentunya dengan konstruksi yang lebih kuat. Bersama dua orang warga Guntur Bandongan yaitu, Cipto dan Suwarno, pria yang sehari-hari menjadi buruh tani tersebut membangun kembali jembatan Gantung itu.

Dengan mengandalkan empat buah tali pancang dari bekas tambatan kapal yang ia beli dari Semarang jembatan itu dirikan. Selama 17 tahun kini jembatan itu masih berdiri. Dengan dasar ayaman bambu, jembatan tersebut dalam sehari setidaknya menghubungkan sekitar 400 warga.

“Alhamdulillah, yang kedua ini awet sampai sekarang. jembatan ini dibangun oleh perorangan. Tidak ada bantuan dari pemerintah,” ujar Kojin yang kini menjadi penjaga di bagian timur.

Keberadaan jembatan tersebut membawa dampak sosial bagi warga di dua wilayah. Sebelum adanya jembatan tersebut, nyaris tidak ada anak sekitar Rejosari yang sekolah di Kota Magelang. Adapun setelah ada jembatan tersebut banyak anak-anak yang sekolah di perkotaan.

“Ibadah itu kan tidak hanya sembahyang di masjid to, Mas. Menolong orang seperti ini juga termasuk ibadah,” celetuk bapak tiga anak itu.

Memang, sebagai biaya perawatan pengguna jasa jembatan tersebut di kenai sumbangan sebesar Rp 100 untuk pejalan kaki dan Rp 200 untuk pengendara. Sementara anak-anak dan petani dan anak-anak sekolah tidak dipungut biaya.

“Ada pula yang cuek sering lewat tetapi tidak banyar, ya tidak dilarang,” ungkap Kojin.

Dia mengakui, beberapa kali mencuat wacana dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang akan membangun jembatan permanen di area itu. Sampai sekarang rencana tersebut hanya sebuah wacana. Pasalnya banyak hal yang menjadi kendala, termasuk tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, keberatan dari warga sekitar, karena mereka dimungkinkan tidak mau jika dilakukan pembebasan tanah untuk jalan tembus.

“Sudah berkali-kali para pejabat dari provinsi meninjau, tetapi belum jelas kapan realisasinya,” ujarnya. ***

Komentar

Postingan Populer