kartini sumbing

PAGI belum sempurna, matahari pun belum terlihat sinarnya dari di
Desa Sutopati Kecamatan Kaliangrik Kabupaten Magelang, Jumat
(20/4). Namun Karminah (42) bersama beberapa perempuan lainnya
sudah selesai mengikat rumput yang mereke dapatkan. Selanjutnya
mereka beriring-iringan menggendong rumput berkilo-kilo meter
menuju rumahnya.

Demikian setiap hari sejumlah perempuan termasuk Karminah
menjalani hidupnya. Setiap harinya, sebelum anak2 dan suaminya
terbangun Karminah sudah terjaga. Lalu ia mendidihkan air hangat
dan memasak nasi untuk sarapan keluarga.

Baru perempuan yang mempunyai dua anak itu, keluar rumah
sembari membawa sabit dan tali ke lahan. Karena tak hanya
keluarganya yang butuh makan, hewan peliharannya juga butuh
makanan.

"Beban berat sudah menjadi hal yang bagi perempuan yang tinggal
di lereng Gunung Sumbing itu. Lahir dan besar di lereng gunung
membuat ia terbiasa hidup dengan jalan menanjak dan bersanding
dengan alam. Jadi untuk menggendong rumput sampai tiga kilometer ia
pun tak lagi menggeluh.

"Buat pakan sapi, Mas. Kalau tidak pagi nanti tidak bisa
mengerjakan yang lainnya," katanya dengan bahasa Jawa di sela-sela aktivitas merumputnya.

Karminah mengaku bahagia jika sedikit rumput yang ia berikan
menjadi rebutan ternak peliharaanya. Karena kesehariannya hanya itu
yang menjadi hiburannya. Selain memandangi anaknya saat pulas
tertidur ia pun senang melihat hewan saling berebut makanan.

Tidak berhenti di situ saja pekerjaan Karminah. Setelah puas
melihat ternaknya biasanya dia baru sarapan. "Kalau saya pulang,
anak saya yang ragil sudah pergi sekolah. Baru saya makan lalu
menyusul suami saya ke ladang," katanya yang sudah menjalani
perkawaninan selama 26 tahun.

Terpisah, kesetiaan menjalani garis nasip juga dijalani Sri
Suwariyah (78) sepanjang hidupnya. Hingga sekarang hampir 60 tahun
warga Dusun Tegalsari Krajan Kaliangkrik ini berjualan anyaman dari
bambu.

Setiap pagi perempuan yang mengaku hanya mempunyai anak semata
itu sudah membawa barang dagangannya menuju jalan besar sekitar 1,5
kilometer dari rumahnya. Lalu ia pun dengan sabar menungu angkutan
yang akan membawanya ke pasar menjajakan dagangannya.

"Sak lebare geger londo, kulo sampun dodolan," katanya dengan
logat yang unik.

Untuk kerajinan ceting yang ia beli dari Ngripah Wonosobo, ia
jual 2.500 Rp 3.000. Sedangkan anyaman besek yang ia beli Rp 1.000
(per lima pasang ia jual sedikit di atasnya. "Oleh setitik ya digawe nempur," katanya.

Sejak kecil, Suwariyah tidak pernah mengeyam bangku sekolah.
Jaman dulu, kisahnya orang miskin apalagi perempuan tidak boleh
sekolah. Jadi yang bisa sekolah hanya anaknya orang kaya, padahal
kadangkala kepandaian mereka pas-pasan.

"Tapi sekarang sudah beda. Anak orang miskin yang pinter tetap? bisa sekolah. "Ngoten nboten?" tandasnya balik bertanya.

Komentar

Postingan Populer