Koh TSun

Kok Tsun

ITU adalah sifatnya. Walaupun beraneka pakaian bagus ia punya, Koh Tsun lebih suka memilih corak yang itu-itu saja. Ia sering memakai celana bahan dengan stelan hem putih kecoklatan yang kerahnya sudah tambalan.Beberapa sisi celananya ia biarkan mengaga. Kalau diingatkan ia hanya tersenyum dan buru-buru mengalihkan pembicaraan.

Koh Tsun selalu membela diri jika ditanya kenapa ia selalu mengenakan pakaian yang kumal itu. Ia lalu bercerita, perbatasan dukuh Parangan rawan sekali. Di sekitar jembatan gantung yang menghubungkan dengan dukuh Losari banyak sekali begal berkeliaran.

Mereka sering merampok orang-orang yang melintas.Siang hari sekalipun mereka berani membegal para pedagang yang baru pulang dari kota. Koh Tsun mengaku, dengan model pakaian lusuh seperti itu dirinya dapat terhindar dari perampokan.

Warga Dusun Parangan mengenal Koh Tsun sebagai seorang penjual jamu. Di atas sepeda motor merahnya itu ia membawa jamu-jamunya berkeliling desa ke desa. Koh Tsun mengetahui orang-orang pedukuhan hanya punya waktu senggang pada malam hari. Pagi hari mereka harus ke ladang. Sedangkan sore harinya digunakan mencari rumput untuk ternak-ternaknya. Rumah mereka dipenuhi kambing dan sapi. Ada pula yang memelihara babi, namun itu hanya sesekali dapat ditemui.

Waktu yang tepat untuk singgah di dukuh itu ketika senja mengeluarkan siluet merahnya. Saat bukit-bukit yang mengelilingi pedukuhan berubah menjadi bayang-bayang hitam. Saat kelelawar mulai keluar dan kepak sayapnya terdengar jelas di gendang telinga. Angin-angin perbukitan mulai berdesir membawa hawa dingin turun dari pucuk ranting menyisir rambut Koh Tsun yang berlapis minyak kemiri.

Setelah memasukkan ternak, mereka menenangkan ayam yang mengeram di pojok kandang. Ayam-ayam itu terganggu oleh tingkah sapi yang tak ingin dimasukkan.

Gemerap anak-anak berubah senyap. Warga Parangan mulai memakai sorjan dan mengalungkan sarungnya untuk menangkis hawa dingin yang menelusup sampai ke dalam tulang. Mereka duduk di serambi, berkumpul dengan keluarganya sembari memakan umbi rebus dan secangkir kopi panas.

Koh Tsun menghentikan sepeda motornya di sebelah warung kopi di perempatan. Sepeda motor itu ia bunyikan dengan dengungan panjang. Suaranya menandai bahwa ia telah datang di kampung itu. Anak-anak berlari mengejar lalu membaui asap yang keluar dari cerobong knalpotnya. Koh Tsun mengemasi dagangannya kembali sebelum malam benar-benar larut. Ia sadar besok pagi orang-orang dukuh Parangan kembali bekerja. Memandikan ternak-ternak ke sungai lalu berangkat ke ladang.

Anak-anak juga harus cepat pulang. Mereka harus lebih awal berangkat ke sekolah. Karena untuk sampai ke sana mereka harus mengitari sendang di bukit Ramelo. Tak ada perahu di sendang itu, dan tak ada yang mau menyeberanginya. Sendang itu wingit tidak ada yang berani melanggar aturan dari para leluhur.

“Kok Tsun, kaki saya bengkak-bengkak?
“Dioles salep setiap pagi dan sore, ya,” Kok Tsun memberi obat lalu perempuan tua itu buru-buru itu pergi.
“Kepala saya sakit, Kok,” laki-laki setengah baya mengeluh sembari memegangi kepalanya yang masih terbungkus sarung.
“Pakai jamu,” Kok Tsun menyodorkan bungkusan serbuk berwarna coklat, dan tanpa bertanya laki-laki itu menerimanya.

Koh Tsun begitu meyakinkan. Ia selalu menjadi jalan keluar. Orang-orang mendecak kagum. Apapun penyakit Koh Tsun selalu menyediakan obatnya. Setelah menggunakan obat dari Koh Tsun tak lama kemudian mulai merasakan khasiatnya. Penyakit kulit yang diderita Mbah Madrasi tiba-tiba mengering dan akhirnya sembuh.

Warga dukuh Parangan telah hafal kapan Koh Tsun datang. Di setiap bulan sabit membentuk celeret merah, seperti mereka telah diberitahukan sebelumnya bahwa Koh Tsun akan tiba. Bukan hanya itu, mereka hafal pula jenis-jenis jamu yang dipunyai Koh Tsun. Kadangkala tanpa mengeluh beberapa orang langsung meminta salep, obat kapsul, dan yang lainnya.

Anak-anak mengidolakannya. Jika ditanya apa cita-citanya, mereka menjawab akan menjadi penjual jamu seperti Koh Tsun. Namun anehnya tak satu pun orang di dukuh Parangan yang menjadi penjual jamu. Kebanyakan mereka hanya meneruskan berladang dari lahan para leluhurnya. Mereka berternak sapi dan kambing lalu menggembalakannya di pinggir hutan. Setelah dewasa mereka dikawinkan dengan tetangga masing-masing. Tak satu pun yang seperti Koh Tsun.

Walaupun orang-orang dukuh Parangan sangat mengenal Koh Tsun, namun sampai saat ini mereka tidak tahu asal-usul sebenarnya. Ada yang bilang ia tinggal di kota, orang kaya yang senang keliling desa. Namun ada juga yang bilang Koh Tsun tak punya rumah. Ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain.

Malam ini ia berada di satu dukuh dan malam berikutnya di dukuh yang lain. Tetapi pembicaraan selalu berakhir dan tak satu pun yang tahu persis siapa sebenarnya Koh Tsun.

“Koh Tsun rumahnya di mana, Bu?” tanya anak-anak saat dimandikan ibunya.
“Kok Tsun itu punya anak dan istri, Bu?” tanyanya kemudian di lain hari.
“Entahlah,” kata ibunya menggeleng.

Sejak anak-anak dukuh Parangan masih kecil, sampai mereka menikah dan mempunyai anak, Kok Tsun sudah berada di dukuh itu. Ia sama sekali tak berubah. Pakaiannya, stelan dan rambutnya yang dilapisi minyak kemiri.

“Bagaimana jika Kok Tsun datang seminggu sekali ke sini,” tanya Mbah Madrasi.

Koh Tsun tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Matanya selalu terpejam jika ia tersenyum. Mata sipit itu hilang diapit kedua pipinya. Senyum itu tak memberi kesempatan kepada Mbah Madrasi untuk melanjutkan permohonannya.Koh Tsun tetap datang seperti sedia kala. Satu purnama, tidak kurang tidak lebih. Begitu seterusnya.
Terakhir kedatangannya, Koh Tsun menginap di rumah dukuh Diharjo.

Kok Tsun telah dianggap sebagai keluarga sendiri. Ia sangat dicintai penduduk. Kok Tsun pergi sebelum pagi benar-benar sempurna. Orang-orang menatap kepergiannya dengan perasaan kehilangan. Anak-anak kecil berseragam berlari-lari di pematang. Mereka melambai-lambaikan tangannya dan menjerit tak karuan melihat kelebatan Kok Tsun di atas sepada motornya. Setelah Kok Tsun hilang di antara gugusan jati mereka menjadi murung. Anak-anak itu seperti kehilangan prenjak yang baru diberikan orang tuanya. Keriangan mereka sirna berganti dengan duka panjang. Mereka ingin bertemu Kok Tsun.

***
Purnama menggantung sempurna di pucuk bukit Ramelo. Orang-orang menikmatinya dengan duduk di halaman. Seekor anjing meloncat oleh kagetan anak-anak yang bermain grobak sodor sehingga menumpahkan air dalam ember.

Mereka resapi desiran angin sambil menerawang sinar bulan yang menerobos gugusan jati yang bersinar keperakan. Namun yang pasti, ketika purnama datang serta merta kedatangan Kok Tsun tinggal beberapa hari saja. Orang-orang menghitung hari, sampai yang dinanti datang menghampiri.

Senja mulai menyelimuti lereng Ramelo. Seperti bisanya, ternak-ternak sudah dimasukkan. Asap rumput yang terbakar membumbung putih dari atap rumbia. Bau asap itu mengusir nyamuk-nyamuk yang bersarang di sekitar kandang. Orang-orang Parangan duduk di serambi. Mereka saling bercanda dan yang penting menunggu kedatangan Koh Tsun.

Senja telah beranjak. Cleret merah di atas bumbungan rumah berlahan mulai sirna. Malam berjelaga. Orang-orang Parangan mulai gelisah. Jerit anak-anak digantikan gangsir, jangkrik, dan kepak codot bersahutan menyambar-nyambar di atas pohon jambu kluthuk. Orang-orang masih berkerumun di perempatan. Semakin lama semakin banyak. Hanya untuk satu pertanyaan; Kok Tsun sudah datang?
“Aku ingin beli salep,”
“Aku jamu pegel linu,”
“Saya hanya ingin dengar ia menyanyi lagu Cina,”

Anak-anak mulai menangis. Mereka menjerit minta untuk ditemukan Koh Tsun. Kalau perlu disusul ke kota. Para orang tua panik. Harus dicari ke mana, rumahnya saja mereka tidak tahu, apalagi asal-usulnya.

Malam telah digantikan pagi. Kokok ayam mengiringi fajar merah yang mulai merekah. Namun Koh Tsun belum juga datang. Orang-orang Parangan masih dalam keterjagaan. Ada menelusuri hutan, mencari Koh Tsun sampai dukuh seberang. Sampai berhari-hari mereka mencari, namun tak ada hasil. Koh Tsun seperti ditelan bumi. Hilang entah ke mana. Tak ada yang tahu hingga mereka sampai di ujung putus asa.

Bulan dan matahari saling berkejaran. Tak pernah sekalipun keduanya bertemu di atas bukit Ramelo. Beberapa purnama telah berganti. Begitu lama menanti kedatangan Koh Tsun. Sampai sekarang mereka selalu berkumpul setiap bulan sabit membentuk celeret merah. Mereka masih menanti, berharap suatu saat Koh Tsun datang kembali. Untuk mengobati kerinduan, orang-orang dukuh Parangan mendongengi anak-anaknya.

Koh Tsun memang begitu. Walaupun beraneka pakaian bagus ia punya, Koh Tsun lebih suka memilih corak yang itu-itu saja. Ia sering memakai celana bahan dengan stelan hem putih kecoklatan yang kerahnya sudah tambalan. Beberapa sisi celananya ia biarkan mengaga. Kalau diingatkan ia hanya tersenyum dan buru-buru mengalihkan pembicaraan.

Lalu jerit tangis anak-anak dusun Parangan terdengar berderai, mengakhiri cerita tentang Koh Tsun dari para orangtua.

Komentar

Postingan Populer