Onthel Suparjo

MUSIM kemarau membuat siang hari di Kota Magelang panas menyengat. Pejalan kaki dipaksa memakai payung untuk menghidarinya. Begitu juga pengendara sepeda motor, membungkus wajah dan tangannya dengan masker dan sarung. Namun, tidak bagi Suparjo (71). Di tengah terik, warga kelurahan Magersari, itu serius dengan sepeda kumbang di sebuah trotoar Jalan Panglima Sudirman.

Meski tak tangguh dahulu, kedua tangan Suparjo masih cukup kuat melepaskan velg sepeda. Begitu juga kedua matanya, masih cukup awas untuk melepaskan dan membedakan skrup sepeda. Meski tak jarang, waktunya habis untuk mencari skrup jatuh. Kendati demikian, Parjo masih setia menekuni profesinya menjadi bengkel sepeda.

Tidak banyak memang, orang yang setia dalam melakoni profesinya, seperti bapak tiga anak itu. Dapat dimaklumi saking lamanya, ia hampir lupa menyebutkan angka pasti tahun berapa ia memulai pekerjaanya. Yang ia ingat, selama lebih dari 50 tahun ia menjalani pekerjaan yang menghidupi keluarganya sampai seluruh anak-anaknya mandiri.

"Sudah lama sekali. Sejak kecil saya sudah mulai jadi bengkel. Ingat saya setelah zaman Jepang saya sudah menjadi bengkel sepeda," ujar pria kelahiran Bumirejo, Mertoyudan Kabupaten Magelang tahun 1935 tersebut.

Karena tidak memiliki lokasi tetap, dalam menjalani pekerjaannya itu, suami dari Bingah, selalu berpindah-pindah.Setidaknya ia pernah beroperasi di sejumlah trotoar di Kota Magelang seperti di pertigaan Karang Gading, Alun-alun, dan di depan New Armada. Sampai akhirnya ia berada di trotoar di Jalan Soedirman dan bertahan hingga saat ini.

Dari kesetiaannya pada sepeda, Parjo adalah saksi hidup mulai runtuhnya kejayaan sepeda onthel. Katanya, mulai tahun 1960 bengkel sepeda onthel mulai menurun dari orderan. Apalagi sekarang, orang lebih memilih sepeda motor sebagai alat transportasi sehari-hari ketimbang sepeda pancal. Dipastikan jika pendapatannya menjadi seorang bengkel juga ikut menurun.

"Sekarang lebih ngenes dan tidak menentu. Tapi kalau dibuat rata-rata hanya Rp 3.000-4.000 perhari," ujarnya, mengisahkan lelakon
kehidupan masa tuanya yang semakin susah.

Untunglah, Bingah istrinya masih menyokong ekonomi keluarga dengan menjadi penjual rokok kaki lima. Diakui, itu menambah penghasilan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Bersama istrinya Parjo mereka hidup berdua, setelah anak terakhirnya sudah membina keluarga sendiri.

Sementara itu di tengah sepinya orang yang datang membutuhkan jasanya, laki-laki yang tubuhnya sudah dimakan usia itu hanya duduk termenung. Dalam hatinya, ia masih bersyukur, meski hidup jauh dari kecukupan, seluruh anaknya sudah mandiri. Kini ia bersama istrinya tinggal menunggu sang penguasa umur memanggilnya dengan tenang.

"Cukuplah Mas, untuk memberi uang jajan cucu," ujarnya sembari menyelesaikan tambalan ban sepeda kumbang yang ia kerjakan. Untuk sebuah tambalan ia meminta uang lelah Rp 2.000. Namun untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih sulit ia kadang mematok tarif Rp 3.000 sampai Rp 3.500. Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari, berangkat dari rumah sekitar pukul 07.00, lalu kembali pulang pada pukul 16.00.

Ia rela harus berjemur di tengah terik setiap hari. Sadar trotoar bukan miliknya karena ada hak orang lain, yaitu pejalan kaki yang lewat di sana. Tapi bagaimana lagi selain trotoar tidak ada lagi tempat baginya mengais sisa rizki. Untuk itu ia tidak memasang tenda untuk menaungi dirinya dari panas matahari. "Nanti digaruk Satpol. Tapi kalau memang masih digaruk, saya ikhlas. Apalagi kalau diberi makan," katanya meski kekurangan ia mengaku tidak pernah mendapatkan Sumbangan Langsung Tunai (SLT) dari pemerintah.*

catatan: Kalau pas lewat di Jalan Sudirman Kota Magelang trus ada laki2 tua di trotoar sebelah timur jalan, itu dia yang bernama Suparjo.

Komentar

Postingan Populer