nyai kendit

PUNCAK Merapi terlihat cerah dari Cekdam Sungai Blongkeng di Dusun Berokan Desa Pucanganom Srumbung Magelang, Sabtu (9/12) pagi. Gemericik air di sungai yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai jalan para lelembut menuju puncak Merapi masih terdengar syahdu belum terganggu raungan mesin pengeruk pasir yang menderu.
Sampai saat ini Sungai Blokeng masih perawan belum tersentuh tangan-tangan besi mesin pemakan tanah. Di tempat itulah, seniman asal lereng Gunung Merapi, Agus "Merapi" Suyitno, melakukan ritual nyai kendit.

Ritual itu sebagai wujud ungkapan syukur kepada Tuhan yang menciptakan Gunung Merapi dengan kesuburan tanah lerengnya, juga yang melimpahkan air begitu jernih. Selain itu juga merupakan simbol tanda penghormatan kepada Nyai Kendit yang dipercayai sebagai sang dewi hujan, awan dan kabut Merapi.
Sebagian warga yang tinggal di sekitar lereng Merapi sampai saat ini masih meyakini bahwa pada bulan Desember ini sang dewi hujan sudah mulai menguyurkan hujan yang sudah lama tersimpan di awan. Hujan itu berfungsi membersihkan jejak kyai petruk, yang dipercayai sebagai salah satu penghuni Gunung Merapi dengan letusan lima bulan lalu, juga tebaran debu nyai gandung melati yang diyakini sebagai sang dewi kesuburan Merapi.

Nyai kendit dipersonifkasikan sebagai sosok perempuan cantik dengan selendang warna hijau muda. Selendang yang diikatkan pada tubuhnya itu merupakan simbol bahwa ada keterkaitan antara GUnung Merapi dengan laut selatan. Secara kosmologi dipercayai bahwa GUnung Merapi dan laut selatan mempunyai keterkaitan magis yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Salah satunya adalah air hujan yang mengguyur Merapi itu dipercaya diambil dari segara kidul. Dengan digelarnya ritual itu, ada harapan yang terbersit semoga hUjan yang turun menjadi berkah bagi orang-orang yang tinggal di lereng Merapi, bukan berubah menjadi bencana yang akan meluluhlantakkan lereng gunung tersebut. Ada sebuah ketakutan tersendiri bagi mereka yang tinggal di lereng Merapi jika sang dewi menjadi murka karena ulah manusia.

Dimana sungai-sungai sebagai tepat untuk menyimpan air telah diaduk-aduk dan dijarah manusia yang serakah untuk diambil pasir-pasirnya. Kini sungai-sungai di lereng Merapi tinggal batu-batuan blantak yang tak lagi mampu menyimpan air. Prosesi ritual yang digelar dengan dilengkapi lukisan nyai kendit tersebut juga dijadikan simbol permohonan maaf karena hutan-hutan yang dipercaya sebagai kasur hijau sang dewi sudah banyak yang ditebang. Sehingga tak lagi bisa bermain di ujung-ujung pinus lalu berkejaran lalu turun beristirahat di bawah hangatnya pasir Merapi.
"Janganlah engkau mambuat sungai baru yang melewati sawah dan kampung kami, cukup menutupi luka-luka di dasar sangai kami. Kami minta maaf karena jatuhmu begitu sakit di atas batu-batu blantak," ungkap pelukis dan pengelola Merapi Rumah Seni itu saat melakukan ritual. Pada tahun 1960 Sungai Blonkeng menjadi saksi kedahsyatan hujan dari lereng Merapi yang membawa lahar dingin dengan disertai pasir dan batu panas. Kedahsyatan banjir lahar yang terjadi pada waktu itu sampai membelah sebuah desa yang dilewati menjadi dua wilayah. Saat ini peritiwa dipercayai sebagai pesta besar perkawinan nyai kendit dan kyai sapujagad sang penguasa lahar dingin itu akan terjadi lagi, sehingga perlu dipanjatkan doa-doa keselamatan. Pada prosesi ritual itu, berbagai sesaji diberikan berupa asap kemenyan dan dupa, bunga tujuh rupa, sebagai simbol keharuman, jernih dan kemilau. Sehingga jika mampir ke sawah-sawah menjadi subur, ikan-ikan di kolam pun sehat, kalau ke sumur dan mata air untuk memasak mandi dan minum tubuh ini menjadi segar dan sehat. Sedangkan diberikan sesaji berupa jajan pasar berupa salak, nasi mengono, ikan sebagai simbol permohonan maaf atas orang-orang yang telah merusak pasir, akar-akar pohon, dan hutan. Prosesi ritual ditutup dengan larung bunga tujuh rupa dengan disertai doa-doa keselamatan. Prosesi itu dimaksudkan agar aliran sungai Blongkeng agar tetap terjaga dari berbagai kerusakan. Selanjutnya nasi megono dan ikan yang telah diberikan doa-doa itu dimakan supaya hasil panen warga di lereng Merapi terus melimpah. "Karena saat ini warga desa di lereng Merapi sudah mulai merasakan dampak dari kerusakan alam. Sungai-sungai mulai kering, sumur-sumur mulai dalam, jutaan pohon salak yang kering dan mati. Tanah tak lagi basah, sehingga uret-uret banyak berpesta makan akar salak," tandas Agus.

Komentar

Postingan Populer