Tradisi Bali


IF there’s a heaven, it’s better like Bali.

Begitulah kira-kira ungkapan Michael, seorang wisatawan asal Kanada saat menikmati suguhan tari Kecak sembari memandangi surya yang mulai redup menurun di ufuk barat Pura Luhur Uluwatu, Rabu (28/3).

Pemandangan di kawasan pura yang bertengger persis di atas batu karang yang menjorok ke laut itu memang luar biasa indahnya, terlebih-lebih tatkala senja mulai tiba saat surya akan tenggelam. Berada di ujung paling barat semenanjung Bukit, Kabupaten Badung, Pura Sad Kahyangan itu dipercaya masyarakat setempat menjadi penyangga salah satu dari sembilan arah mata angin.

Dari cerita masyarakat setempat, pura ini pertama-tama dipakai sebagai tempat untuk memuja seorang pendeta suci bernama Empu Kuturan yang datang pada abad ke-11. Dialah yang menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala peraturan tata tertibnya. Berikutnya pura itu dipakai untuk pemujaan pendeta suci Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali di akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan moksah atau ngeluhur di tempat ini.

Selanjutnya kata itu dipakai melengkapi nama pura yakni Pura Luhur Uluwatu. Keindahan alam serta keunikan seni dan budaya yang dijiwai agama Hindu yang dijaga masyarakat yang secara turun menurun serta ditunjang berbagai sarana akomodasi di wilayah ini, menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona dan sumber PAD utama. Lebih dari 90 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah ini tahun 2006 mencapai Rp 362,45 miliar diperoleh dari sektor pariwisata.

Melihat realitas yang ada, pengembangan pariwisata oleh pemerintah pun tidak akan menanggalkan adat dan tradisi masyarakat Bali. Bahkan prinsip itu secara gamblang hal itu dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung yang mempunyai visi membangun Badung berdasarkan Tri Hita Karana yaitu menuju masyarakat yang adil, sejahtera dan ajeg.

Sedangkan salah satu misi kabupaten ini adalah peningkatan srada dan bhakti masyarakat terhadap ajaran agama, serta peningkatan eksistensi adat budaya dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian. “Kalau hanya hotel mewah dan mall megah, di luar Bali apalagi luar negeri barangkali sudah biasa. Namun adat istiadat dan tradisi yang dilakukan masyarakat tidak bisa didapati di manapun,” kata Kasubdin Pemasaran dan Penyuluhan Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, I Wayan Bagiartha.

Lihat saja betapa banyak wisata budaya di kabupaten ini, antara lain kawasan luar Pura Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pura Sada Kapal, kawasan luar Pura Taman Ayu, Monumen Tragedi Kemanusiaan (MTK). Sekitar 95% penduduk Bali menganut agama Hindu. Sedangkan 5% sisanya adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Kong Hu Cu.
Tujuan hidup sesuai ajaran Hindu adalah Untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan bathin. Masyarakat Bali termasuk Badung dalam hidupnya sehari-hari melalui keanekaragaman upacara agamanya. Orang Bali menganggap hidup ini adalah seni, menuju ketenangan dan kesunyian. Setiap hari mereka menyanyikan lagu kasih sayang yang diperlihatkan dengan beraneka ragam rajutan dan anyaman sesajen terbuat dari daun kelapa muda.

Lihat saja di sejumlah pantai Pantai Kuta, Pantai Legian, pantai jimbaran, pantai Nusa Dua, dan Tanak Wuk masyarakat Bali menghaturkan sesuatu yang diperoleh kepada Tuhan. Dengan harumnya aroma dupa di tangan, membaca mantra suci dengan gerakan tangan penuh makna, memercikkan air suci memohon keselamatan.

Dalam pemeritahan, selain lembaga administrasi di kabupaten yang mempunyai enam kecamatan diantaranya Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta Utara, Kuta, Kuta selatan ini juga terdapat lembaga adat yang terdiri dari 119 desa adat, 523 banjar dan 523 Sekaa Teruna. Lembaga - lembaga adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga, anggota masyarakat adat ini terikat dalam suatu aturan adat yang disebut awig - awig. Keberadaan awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga umumnya masyarakat sangat patuh kepada adat. Oleh karena itu keberadaan Lembaga Adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat. "Banyak program yang dicanangkan pemerintah berhasil dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang ada," tambah Bagiartha.


Wilayah pembangunan Badung dibadi menjadi tiga wilayah pembangunan, Badung Utara, Tengah dan Selatan. Badung Utara dengan pusat pengembangan di Blahkiuh, didominasi aktivitas perkebunan dan tanaman pangan, wisata alam, petermnakan kerajinan da konservasi. Badung Tengah dengan pusat pengembangan di Mengwi didominasi aktivitas pertanian pariwisata budaya, peternakan, dan kerajinan.

Sedangkan selatan dengan pusat pembangunan di Kuta dengan dominasi aktivitas pariwitata perikanan industri kecil perdagangan dan jasa sarta pusat pendidikan. Sektor pertanian dikembangkan selain untuk memenuhi kebutuhan masyrakat, oleh pemkab setempat juga diarahkan untuk menunjang pertanian. Sedangkan sektor industri selain diarahkan untuk penunjang pariwisata juga dikembangkan untuk ekspor dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Mempunyai 7 buah kelompok industri logam, mesni elektrnik dan aneka (ILMEA) yang menyerap 433 orang, investasi Rp 312,2 miliar, dan nilai produksi 3.9 miliar. Hasil industri hutan 53 buah, industri kerajinan khas 159 patung kayu, 15 keramik, 43 anyaman bambu dan 33 industri perak.

Komentar

Postingan Populer