menambang padas

KETINGGIAN dan ancaman longsor yang sewaktu-waktu bakal menimpa tidak menyurutkan tekad Ritno (35) dan kawan-kawannya untuk terus menambang batu padas di Dusun Tangkil Desa Gemeksekti Kebumen.

Dari ketinggian sekitar 10 meter, satu demi satu bongkahan batu padas itu ditambang dengan alat tradisional. Bongkahan padas yang jatuh menimbulkan suara bergemuruh. Mereka hanya melongok sebentar lalu meneruskan kembali kerjanya. Mulai pagi hari dengan gesit mereka naik ke tebing untuk mulai bekerja. Menjelang istirahat siang, mereka turun mengumpulkan bongkahan padas itu mempersiapkan jika ada pembeli yang menginginkannya.

Di lokasi penambangan itu, Ritno tidak sendirian. Sejumlah penambang lain seperti Sadiri (35) dan Rusi serta penambang lainnya melakukan kegiatan serupa. Kendati apa yang mereka dari hasil cucuran peluh tidak seimbang dengan risiko dan kerja keras yang mereka lakukan, namun mereka menjalaninya dengan semangat.

Bayangkan saja, satu truk batu padas yang mereka kumpulkan seharian itu hanya laku Rp 30.000. Tambahan yang didapat hanya dari jasa tenaga menaikkan batu tersebut. Tapi terkadang mereka harus merelakan kenyataan, saat pembeli telah membawa tenaga pengangkut sendiri. Padahal, uang yang diterima itu tidak semata-mata masuk ke kantong saku. Jumlah itu masih dikurangi dengan berbagai potongan. Antara lain Rp 2.500 untuk pemilik tanah dan Rp 2.000 buat jasa jembatan yang dibangun perorangan. "Ya bagaimana lagi, wong hanya ini yang bisa kami lakukan," ujar Ritno saat ditemui di lokasi penambangan, belum lama ini.

Kegiatan menambang batu padas di tanah berbukit itu memang menjadi sumber rizki bagi warga sekitar. Selain itu, pemilik tanah pun mengambil keuntungan dari kegiatan itu. Sebab dengan diratakannya tanah berbukit itu, nilai tanah menjadi bertambah tinggi.

Hal itu diakui Halimi (51) salah satu pemilik tanah di lokasi tersebut. Ia mengaku, ketika masih berbukit, dulu harga jualnya masih rendah, yakni Rp 400.000 per ubin atau 4 m2. Padahal ketika sudah dalam kondisi datar, harganya bisa mencapai Rp 1 juta per ubin. "Rumah-rumah di pinggir jalan itu dulunya juga berupa tanah berbukit. Setelah bertahun-tahun ditambang dan menjadi datar kemudian baru didirikan bangunan," ujar Halimi.

Warga RT 9 RW 3 ini mempunyai tanah seluas 74 ubin yang berbukit, saat ini dia sudah bisa memanfaatkan tanah tersebut untuk berbagai keperluan. Misalnya ia mendirikan warung di bekas tanah berbukit yang saat ini sudah rata.

Sengaja, warga di dusun itu tidak menggunakan alat berat untuk mengeruk bukit agar menjadi rata. Selain harga sewanya yang mahal, dengan dikeruk melalui cara tradisional dapat menjadi lahan bekerja sebagian warga yang biasa menjadi penambang. "Di lokasi ini, penambangan sudah dilakukan selama tujuh tahun. Entah sudah berapa truk batu padas yang dihasilkan," ujarnya

Komentar

Postingan Populer