Tobong Gamping

SEBUAH kabar, seorang penambang batu kapur di kawasan tobong gamping tewas terkubur reruntuhan tebing yang ditambang. Pariyati (31) tewas seketika setelah area penambangan di Desa/Kecamatan Buayan, Kebumen longsor. Kabar duka itu pun menyebar kepada ratusan penambang dan pekerja tobong gamping di sejumlah desa di Kecamatan Buyan, Rowokele dan Ayah. Pada waktu itu para penambang pun meningkatkan kewaspadaan, berharap peristiwa tragis tak lagi terjadi. Ya, hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Ada yang masih ingat, tapi tidak sedikit yang sudah lupa. Bahkan ada pula penambang yang tidak tahu, atau pura pura lupa. Kebiasaan lama kembali dilakukan yakni hirau pada keselamatan. Padahal mereka bekerja tanpa asuransi. Menambang di ketinggian tanpa alat pengaman menjadi kebiasaan. Menggunakan masker dan segala jenis pengaman lain hanya merepotkan. Seolah-olah para pekerja di tobong gamping sudah tak lagi memiliki rasa takut bahaya mengancam setiap saat. Melihat ratusan penambang pekerja tobong gamping di Desa Redisari Kecamatan Rowokele hati serasa miris. Betapa tidak, seolah tidak pernah mengenal rasa takut, di atas ketinggian tebing yang terjal, mereka bergelantungan meruntuhkan bebatuan. Di bawahnya sudah bersiap sejumlah orang menunggu jatuhnya reruntuhan. Belum hilang debu yang timbul akibat reruntuhan batu gamping tersebut, mereka langsung berhamburan. Batu-batu kapur itu kemudian dikumpulkan dan diolah di sebuah tobong yang letaknya tidak begitu jauh dari lokasi penambangan. "Sudah biasa, Mas. Saya sudah 20 tahun bekerja di tobong gamping," ujar Sugiyanto (47) warga Dusun Kalikarang Desa Redisari di sela-sela aktivitas menambang, belum lama ini. Memang, bergelut dengan batu kapur dan gamping bukan pilihan hidup yang dicita-citakan. Tapi bagaimana lagi, pilihan lain yang bisa diandalkan memenuhi kebutuhan keluarga sulit dicari. Pada akhirnya, setiap hari selalu berada di bawah ancaman runtuhnya tebing pun siap dihadapi. Juga berkawan bahaya polusi menjadi risiko yang ia tanggung untuk memperoleh uang antara Rp 25.000-Rp 35.000 setiap hari. Uang sebesar itu ia peroleh dari menambang dari pagi hingga sore. Rata-rata ia bisa mengumpulkan sekitar 30 keranjang. Oleh juragan, sekeranjang batu kapur yang masih mentah dihargai Rp 1.100. "Namun satu penambang dengan yang lain tidak sama. Ada juga yang banyak namun ada pula yang sedikit," katanya. Sugiyanto adalah satu dari ratusan warga yang menggantungkan ekonomi dari bekerja di tobong gamping. Masih banyak pekerja lain di sejumlah desa yang umumnya berada di Kecamatan Rowokele, Buayan dan Ayah. Setali tiga uang juga setiap hari mereka juga berkawan polusi. "Kalau saya hanya untuk sambilan saja. Karena pekerjaan utama adalah bertani," Ahmad Suhadi (55) warga Desa/Kecamatan Rowokele yang ikut bekerja di tobong gamping. Pada bagian lain, penambangan memiliki dua sisi yang berlainan. Di satu sisi, penambangan menjadi gantungan ekonomi warga, namun di sisi lain, merajalelanya penambangan menyisakan bekas-bekas kerusakan. Bukit yang dulu hijau berubah warna menjadi putih gamping. Debu gamping bukan hanya ada di tobong. Di perkampungan penduduk polusi juga mulai mengancam. Apalagi saat ada tiupan angin kencang. Jika sudah demikian, bukan hanya para pekerja tobong yang perlu dipikirkan. Kesehatan anak-anak dan balita juga perlu menjadi perhatian. Mudah ditebak bagaimana dampak yang ditimbulkan jika anak-anak dan balita terus menerus dihadapkan pada tingginya polusi.

Komentar

Postingan Populer