Seni Debus

MENDENGAR kata debus, pikiran seseorang akan langsung dibawa pada sebuah atraksi yang sangat berbahaya. Mulai dari uji kekebalan tubuh dengan senjata tajam, memakan bara api hingga menelan kaca dan silet. Benar, kesenian tradisional yang berasal dari Banten itu memang memfokuskan pada kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam.
Dalam perkembangannya seni bela diri itu tumbuh di masyarakat sebagai seni hiburan. Debus pun tidak lagi didominasi oleh orang Banten, karena sudah menyebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tentu pergerakan kebudayaan itu mengalami perubahan menyesuaikan dengan kultur budaya setempat.
Salah satu permainan unik dimainkan Hendro Widodo (20) pemain debus dari Kediri, Jawa Timur. Saat pentas di Gombong, ia mengkolaborasikan seni debus dengan kuda lumping, permainan sulap, serta berbagai macam atraksi. Ia pun menamakan dirinya sebagai pemain debus modern.
Untuk menjadi pemain debus tidaklah mudah. Sebab, sebelum melakukan permainan berbahaya seorang pemain terlebih dulu dibekali ilmu kanuragan dengan menjalani berbagai ritual. Hal itu digunakan untuk membersihkan diri dan memohon pertolongan Tuhan untuk keselamatan.
Pada masa awal seorang pemain debus diwajibkan melakukan ritual puasa. Tidak terkecuali dilakukan Widodo. Ia pernah menjalankan puasa selama 21 hari. Tidak seperti puasa pada umumnya yang diawali pada terbit fajar hingga matahari terbenam, puasa yang dilakukannya selama 24 jam non stop. Ia memulai puasa pada pukul 21.00 dan bisa makan lagi pada pukul 21.00, sebelum melanjutkan puasa kembali.
"Selama menjalani ritual puasa itu, saya memanfaatkan untuk melakukan tirual doa dan mendekatkan diri kepada Tuhan," katanya.
Ritual puasa 21 hari itu harus dilakukan secara terus menerus. Jika pada pertengahan hari gagal, ia harus mengulangi dari awal. Untuk itulah, dalam menjalankan puasa ia mesti konsentrasi agar kuat melewati masa tersebut.
"Setelah itu saya sempurnakan dengan puasa tujuh hari," katanya.
Ada ritual yang cukup menarik dalam menjalankan puasa tujuh hari itu. Yakni ia meninggalkan tujuh rasa yang ada pada makanan. Antara lain rasa pedas, lalu asin, asam, dan manis. "Syukur, puasa yang saya lakukan bisa berhasil," kata pemuda yang sudah menjadi pemain debus sejak tahun 1999 tersebut.
Atraksi memakan silet, gotri, kaca, ditujuk senjata tajam, sudah ia lakukan untuk menghibur penonton. Namun ia mempunyai pantangan yang tidak bisa dilakukan yakni bermain pada waktu Maghrib. "Meski dibayar seberapa besar pun, ia tidak berani melanggar pantangan itu," imbuhnya.
Dari sejarahnya, kesenian Debus tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Banten. Tercipta sekitar abad ke-13 oleh seorang tokoh penyebar agama Islam. Pada waktu itu di daerah tersebut masih asing dengan ajaran Islam. Karena banyak kepercayaan dan agama lain yang di anut oleh masyarakat setempat yang pada umumnya masih kuat dengan mistik.
Pada masa penjajahan belanda dan pada pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa, seni beladiri itu digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat Banten melawan penjajah. Karena kekuatan yang tidak berimbang, pejuang dan rakyat banten teredesa. Satu satunya senjata yang mereka punya tidak lain seni beladiri debus, dan mereka melakukan perlawanan secara gerilya.

Komentar

Postingan Populer