Kayu Nakim

KERINGAT Nakim (58) mulai bercucuran saat menahan berat delapan ikat kayu bakar yang ia bawa meninggalkan rumah dengan meggunakan sepadanya. Maklum jalan yang naik turun harus ia lewati. Hal itu membuat warga Dusun Sempor Desa Kemangguhan Kecamatan Alian, Kebumen tersebut harus berjuang keras menahan keseimbangan agar tidak terjatuh.
Sesampai di jalan yang cukup curam, ia pun berhenti sebentar. Menghela nafas sembari menunggu orang lewat. Setelah ada beberapa warga melintas, ia pun mengeluarkan tali tambang. Ia meminta tolong kepada mereka untuk menahan agar sepeda dengan beban berat itu tidak meluncur ke bawah.
Seperti sudah terbiasa, orang-orang tersebut dengan kompak menarik ke tali tambang ke arah berlawanan. Benar, rem tenaga empat manusia itu berhasil membawa Nakim beserta kayu bakarnya dengan selamat sampai jalan yang datar. Ia pun melanjutkan perjalananya sekitar tujuh kilometer lagi untuk sampai ke kota tempat ia menjual kayu bakarnya.
"Untung pas pergi jalannya hanya menurun saja. Tidak ada yang menanjak," ujar pria paruh baya itu kepada Suara Merdeka, Rabu (23/1).
Layaknya orang Jawa, Nakim selalu mengaku "beruntung". Buktinya ia tidak pernah mengeluh dengan beratnya pekerjaan yang harus dijalani. Meski berjalan puluhan kilometer dengan beban berat ia toh masih bisa bertahan sampai setua itu. Bayangkan, pekerjaan itu sudah ia lakoni selama 40 tahun, yakni sejak ia masih muda sampai lanjut usia.
"Dulu dari rumah sampai sini kayu bakar ini masih dipikul. Sekarang saja sudah menggunakan sepeda," ujar bapak delapan anak itu.
Meski ia masih berjalan kaki, namun sepeda cukup meringankan pekerjannya. Beratnya berbagai jenis kayu seperti akasia, nangka, dan jambu yang biasa ditanggung pundak kanan dan kirinya secara bergantian, sudah diambil alih tenaga sepeda. Usai menjual seluruh kayu bakarnya, ia pun bisa pulang naik sepeda itu.
Beratnya pekerjaan itu membuat Nakim tidak setiap hari berjualan kayu bakar ke kota. Tidak pasti, katanya. Terkadang seminggu sekali, namun pernah juga selama sebulan ia tidak berjualan sama sekali.
"Kalau jualan pasti lakunya. Meski pun terkadang dengan banting harga," imbuh kakek yang mengaku memiliki 21 cucu ini.
Delapan ikat kayu bakar ia tawarkan secara borongan yakni Rp 55.000. Jadi jika dirata-rata satu ikat kayu bakar ia jual dengan harga Rp 6.875.
Nakim tidak sendirian. Di desanya terdapat sekitar 10 orang yang juga menjual kayu bakar. Mereka biasa mangkal di tidak jauh dari perempatan tugu lawet di depan SMP Masehi. Sebelumnya mereka berjualan di lokasi yang kini di bangun gedung bank Danamon. Karena lokasi tersebut dibangun, mereka pindah bejualan di tepi jalan.
Sukijan (70) penjual kayu lainnya, mengatakan biasanya ia menunggu pembeli sampai sekitar pukul 11.00. Ia juga membenarkan, selama ini, kayu bakar pasti laku, meski dengan banting harga sekali pun. Sebab, tidak mungkin untuk membawa pulang kembali kayu bakar dagangannya.
"Pernah kayu bakar yang sebenarnya seharga Rp 38.000, ditawar Rp 20.000 saya kasihkan karena benar-benar tidak ada pembeli lagi," katanya sembari menerawang.
Tak ingat, kapan ia pertama kali berjualan kayu bakar. Yang jelas dari sejak belum kawin sampai memiliki lima anak dan 13 cucu ia masih setia menjalankan pekerjaanya sebagai penjual kayu bakar. Hasil penjualan kayu ia gunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga dan pertanian.
Adanya kelangkaan minyak tanah, menurut Sukijan tidak ada pengaruh banyak terhadap penjualan kayu bakar. Harganya juga tidak ikut naik. Karena pengguna kayu bakar sudah tertentu orangnya. Sedangkan, penjualan paling ramai pada bulan besar. "Mungkin kalau sudah tidak ada lagi yang jual minyak, kayu bakar akan jadi mahal," katanya masih menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak.

Komentar

Postingan Populer