Derita Nisa

SOPIAH (28) begitu lekad memandangi buah hantinya yang tergolek di tempat tidur. Ingin rasanya ia menggendong putri bungsu buah cinta perkawinan dengan Mustamin (39) suaminya.

Namun, hasrat itu buru-buru ia lupakan, sadar bayi enam bulan yang ia beri nama Nissaul Khautsari itu
tidak memungkinkan untuk digendong. Kepala bayi kelahiran 12 November 2007 lalu tampak begitu besar. Jauh tidak seimbang jika dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus. Oleh ibunya, sebuah handuk warna hijau muda dimanfaatkan untuk menutupinya.

Hari demi hari, bayi malang itu hanya dibaringkan di sebuah kamar berukuran 2x3 meter.
"Hanya keluar kamar saat dimandikan. Itu pun hanya sebentar. Sebab ia selalu menangis ketika digendong," tutur Sopiah saat ditemui Suara Merdeka di rumahnya RT 6 RW 2 Dukuh Pendul Desa Gondanglegi Kecamatan Ambal, Kebumen, Rabu (7/5).

Dengan mata membendung air mata, Sopiah pun berkisah tentang derita yang menimpa anaknya. Meski dengan berat 1,9 kilogram, saat lahir kondisi Nisa normal. Saat baru berumur enam hari, Nisa dibawa ke rumah sakit gara-gara menderita panas yang tinggi disertai kejang. Nisa dirawat selama 18 hari. Oleh dokter Nisa divonis radang paru-paru.

Setelah dirawat, Nisa pun sembuh dan diperbolehkan pulang. Selang 20 hari setelah pulang dari rumah sakit, kepala Nisa justru membesar. Awalnya ubun-ubunnya mulai melunak kemudian menjalar ke bagian kepala lain.
"Semakin lama makin membesar," ujar Sopiah berkaca-kaca.

Sebagai orang tua, apapun dilakukan demi kesembuhan anaknya. Selanjutnya anaknya pun dibawa ke rumah sakit khusus anak-anak di Kebumen. Oleh Nisa dirujuk ke rumah sakit Yogyakarta. "Alasannya peralatan di rumah sakit di Kebumen tidak memadai," imbuh Mustamin.


Nisa didiagnosa menderita hydrocephalus. Untuk mengeluarkan cairan yang ada di dalam kepalanya, Nisa harus dioperasi. Besarnya, biaya operasinya antara Rp 10 hingga Rp 14 juta. Saat mendengar itu, ia pun gamang. Ia sudah tidak memiliki biaya lagi untuk membayar pengobatan. Dengan gontai ia pun membawa kembali pulang ke rumah. "Semuanya sudah saya jual untuk pengobatan," imbuhnya. Bekerja sebagai petani yang punya sawah, Mustamin tentu sulit untuk mencari uang Rp 10 juta.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pun tak ada sisa lebih bahkan kurang. Ia juga anak bungsunya itu belum masuk sebagai peserta Jamkesmas untuk memperoleh pengobatan gratis.
"Sekarang saya masih berusaha mencari pengobatan alternatif yang menurutnya harganya murah," katanya pasrah.

Data di Puskesmas I Ambal, nama Nissaul Khautsari baru dimasukkan dalam validasi saat ini. Nama Nisa belum masuk daftar peserta Askeskin, sebab pada valiasi tahun 2007 ia belum lahir. "Pada validasi tahun ini sudah dimasukkan peserta Jamkesmas," ujar Kepala Puskesmas Ambal I dokter Arif Komedi melalui Pembina Kesehatan Desa Gondanglegi Catur Ernawati.

Nissaul Khautsari ternyata tidak sendirian. Di Kebumen terdapat 15 balita yang menderita penyakit yang sama. Mereka berasal dari 15 desa di 12 kecamatan.
Rentang usia mereka antara satu bulan hingga 13 tahun. Rata-rata mereka berasal dari keluarga yang tak berpunya. Dapat disebutkan di antaranya Difo Afriana (1 bulan), Dimas Fitriadi Ardiansyah (4 bulan), Erni Oktaviani (5 bulan), Wisnu Aji (8 bulan), Alif Dian Saputro (10 bulan), Tiara Nur Bekti Anggraeni (1), Khoeriyah (2), Najib Fikriya (3), Sofiatun (3), Liana (4), Putri Agus Gustami (4), Agus (6), Martin Abdul Salam (10), dan Riyanti (13).

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Kebumen dokter H Dwi Budi Satrio MKes hydrocephalus bisa bawaan dari lahir (primer) ada juga yang karena terserang saat anak sudah besar (sekunder). Jika penyakit hydrocephalus merupakan bawaan dari lahir berarti pada saat hamil sang ibu terkena toxoplasma (virus yang terdapat di kucing). "Saat anak sudah besar, biasanya penyakit hydrocephalus diawali dari penyakit flu yang kemudian menginfeksi otak," katanya.

Komentar

Postingan Populer