Ceng Beng

PARSDI (63) warga RT 2 RW 02 Kelurahan/Kecamatan Pejagoan, Kebumen cukup sibuk bersamaan warga keturunan Tionghoa melaksanakan hari raya Qing Ming (Ceng Beng). Apa yang membuat bapak delapan anak itu sibuk? Tidak lain karena jabatan warisan yang dipegangnya yakni menjadi juru kunci di bong Cina yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Ya, sejak orang tuanya meninggal tahun 1990, saat itulah Parsidi secara resmi menggantikan posisi yang telah bertahun-tahun diduduki orang tuanya. Sebagaimana bapaknya Nuri yang menuruni jejak kakeknya menjadi juru kunci kuburan Cina . "Sejak kecil saya sudah akrap di pekuburan Cina, karena sering ikut membantu bapak," ujar Parsidi di sela-sela membersikan salah satu makam keramik, Sabtu 5 April lalu.
Dari sisi bahasa Qing berarti bersih dan ming berarti terang. Namun secara umum Qing Ming dimaknai sebagai hari raya membersihkan kuburan leluhur yang jarang dikunjungi selama setahun. Dalam tradisi Jawa, tradisi semacam itu disebut unggahan, nyadran, ziarah, yang biasa dilakukan pada bulan Ruwah (Sya'ban) menjelang bulan Puasa. Di bong Cina yang berada di perbukitan Widoro Payung itu diberlakukan sistem buka tutup pada Ceng Beng-an tahun ini, yakni dibuka pada 21 Maret dan ditutup pada 5 April.

Selama waktu itu, banyak warga keturunan yang datang ke kuburan leluhurnya yang disemayamkan di bukit tersebut. Mereka menyewa orang-orang setempat membersihkan kuburan yang umumnya berbentuk bangunan dari keramik. "Paling banyak pada bulan Maret dan April kayak saat ini. Selain dari Kebumen bnyak yang datang dari luar kota seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta," ujar Parsidi.
Banyak versi terkait awal mula tradisi Cina itu. Kisah yang cukup terkenal adalah kisah menabur kertas lima warna. Konon setelah peperangan, Kaisar Liu Bang atau lebih dikenal sebagai Gao Zu naik tahta, sedih karena orang tuanya meninggal pada masa peperangan sehingga tidak bisa menikmati kehidupan kerajaan. Ketika pulang ke kampungnya, ia tidak lagi menemukan kuburan orang tuanya karena banyak kuburan yang terlantar.

Akhirnya ia menabur kertas lima warna ke atas langit dengan harapan jika ada selembar yang tersangkut di batu nisan, dan tidak tertiup oleh angin kuburan itu akan dianggap sebagai kuburan orang tuanya. Sejak saat itu orang Cina yang membersihkan kuburan pada perayaan Qing Ming juga menabur kertas lima warna.

Namun demikian ia mengakui dari sekitar 3.000 makam yang ada di bong tersebut, tidak ada separoh yang masih dikunjungi oleh familinya. Sisanya banyak yang sudah tidak lagi dikunjungi. Selama 18 tahun dipercaya menjadi juru kunci bong Cina, Parsidi paham betul mana-mana makam yang secara rutin di ziarahi dan mana yang jarang diziarahi. Termasuk tidak sedikit kuburan yang sudah tidak punya saudara.
"Pernah ada yang sudah 25 tahun baru datang ke sini. Sampai mereka lupa letak makam leluhurnya," imbuhnya sembari menyebutkan pengakuan orang itu ia diberi syarat untuk membersihkan kuburannya.

Ada kecenderungan semakin banyak warga keturunan Tionghoa yang mulai meninggalkan tradisi Ceng Beng. Banyak hal yang menyebabkan hal itu, di antaranya tempat tinggal yang jauh atau sudah tidak ada famili di Kebumen. Belum lagi, banyak keturunan Tionghoa yang tidak lagi menganut Tri Dharma baik Konghucu, Budha maupun Tao. Banyak yang sudah menganut agama lain seperti Kristen dan Katolik serta Islam.

"Bagi orang Kristen berziarah tidak lebih dari sekadar membersihkan kuburan. Selain itu dalam ziarah orang Kiristen tidak ada upacara persembahan, doa dan mendoakan kerabat yang sudah meninggal," tulis JS Kwek dalam bukunya Mitologi Cina dan Kisah Alkitab.

Dengan menurunnya jumlah warga yang mendatangi kubur leluhurnya, berdampak buruk bagi warga sekitar yang menyediakan jasa pembersih kuburan. Penghasilannya mereka pun menurun sebab jumlah uang yang mereka terima dari orang-orang yang datang menjadi berkurang. Pada saat ramai kurang lebih 100 orang yang mencari rejeki dengan menjadi jasa pembersih kubur. "Sebagian besar orang sini. Tapi ada pula orang desa lain," katanya.

Penurunan pendapatkan juga dialami Parsidi. Sebab, sebagai juru kunci ia hanya mendapatkan bayaran Rp 50.000/bulan dari yayasan. Sisanya ia mendapatkan uang jika ada orang yang memberinya setelah meminta membersihkan kuburan atau menguruskan penguburan. Uang tambahan juga ia dapat saat ada ahli waris yang akan membangun kuburan.
"Pada prinsipnya, saya tidak pernah minta. Kalau dikasih ya diterima kalau tidak ya tidak apa-apa," katanya.

Komentar

  1. Dia (orang yang d foto) namanya Muslim, bukan parsadi..
    setau saya, dia adalah bukan seorang juru kunci kuburan china, melainkan seorang karyawan di sebuah toko kelontong di karanganyar, toko Muncul.

    BalasHapus
  2. oh, ya. benar. Yang difoto memang bukan juru kunci kuburan china. Itu hanya ilustrasi, dan kebetulan saja gambar itu yang saya pilih. Coba saya cari file gambar parsidi di komputer..terima kasih catatannya. salam kenal.

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer