gizi buruk

SITI Khotibah (40) mencoba menenangkan anaknya yang menangis. Meski duduk di sampingnya, suaminya Sodiri (59) tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa diperbuat hanya mengambilkan botol susu, yang masih terisi separo. Tangis bayi itu pun berhenti saat puting botol menutup mulutnya.

Sulit dipercaya jika, bayi yang diberi nama Nurul Surani Istiqomah itu sudah berumur 5 bulan. Ya, saat terakhir ditimbang di puskesmas setempat, bobot bocah itu hanya 1,8 kilogram. Sangat ringan untuk ukuran bayi seumuran dia. Sejak lahir bayi malang itu tidak mengalami pertumbuhan yang berarti.


Bayangkan, lahir dengan bobot 1,3 kilogram, dengan demikian selama lima bulan bobot bocah itu hanya meningkat 0,5 kilogram saja. Meski kedua orang tuanya mengaku anak ke-13 itu sehat, namun kondisi Nurul cukup memprihatinkan. Barangkali, akibat asupan gizi yang rendah membuat tubuh Nurul semakin hari semakin kurus. Kulitnya juga mulai mengkerut, termasuk jari-jari dan matanya yang terlihat cekung. Bocah malang itu juga gampang sekali terserang penyakit.

"Hanya mencret-mencret saja,kok," kata Khotibah tersenyum masam.


Perempuan paruh baya yang sudah 13 kali melahirkan itu seakan tidak merasa risau dengan kondisi anaknya. Kondisi tersebut dirasa wajar dan tidak ada persoalan meskipun, siapa saja yang melihat bayi itu, mengundang rasa prihatin. "Kakaknya, juga lahir dengan bobot yang rendah, yakni 2,5 kilogram, tapi jarang sakit," katanya tersenyum lagi.


Kondisi Nurul yang mengalami kurang gizi itu memang cukup ironis. Saat Pemkab Kebumen menyatakan perang memberantas gizi buruk, ternyata masih ada kasus-kasus seperti itu muncul setiap waktu. Padahal Nurul merupakan gunung es yang hanya sedikit muncul di permukaan. Kemiskinan dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat salah satu faktor pemicu munculnya gizi buruk.

Hal itu juga yang menimpa Sodiri. Ia merasa tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi sudah beberapa waktu ia tidak lagi bekerja sebagai tukang becak, setelah katarak dan penyakit asma yang dideritanya semakin parah.


Praktis, ekonomi keluarga disangga oleh istrinya, yang bekerja sebagai petugas penyapu jalan. Pada pagi hari, ia bekerja dari pukul 05.00-07.00. Sedangkan pada malam hari ia mulai bekerja pada pukul 18.00-21.00. Tentu saja, jerih payah itu sulit dikatakan untuk memberi makan tujuh anaknya. "Dari 13 anak saya, yang masih hidup delapan orang yang paling tua berumur 30 tahun," katanya sembari menyebutkan baru anak tertuanya yang sudah berkeluarga sendiri.


Karena terbelit ekonomi, seluruh anak Qodri tidak ada yang sempat mengeyam pendidikan tinggi. Rata-rata hanya tamatan SD lalu bekerja. Termasuk kepada anaknya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Ia bingung mencari biaya jika ia meminta melanjutkan sekolah. Kini di rumah kecilnya, yang berada di gang sempit itu, sehari-hari Sodiri dan keluarganya menjalani kehidupan. Bersama ketujuh anaknya ia mencoba bertahan menjalani hidup yang kian suram. Namun demikian, ia tidak pernah menyesal telah melahirkan anak-anaknya.


"Saya pernah KB tapi tidak lagi," katanya.


Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kebumen, selama tahun 2007 terdapat 215 kasus balita gizi buruk. Sedangkan data Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (KBPM), program KB tampaknya belum diminati kaum pria.


Partisipasi pria dalam program KB secara langsung hanya 2,01 persen dari peserta KB aktif sebanyak 153.128 akseptor. Rendahnya partisipasi itu disebabkan adanya anggapan program KB hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Pada 2008 ditargetkan naik menjadi tiga persen dari peserta aktif KB

Komentar

Postingan Populer