Konveksi Roworejo

PADA dasawarsa yang lalu, perkembangan perekonomian di Desa Roworejo Kecamatan/Kabupaten Kebumen tergolong maju pesat. Hal itu tak lepas dari suksesnya industri kecil dan rumah tangga dalam bidang konveksi di desa itu.
Sayang, riwayat kejayaan "kerajaan' konveksi Roworejo tidak sanggup bertahan lama. satu per satu mereka tumbang, sedangkan yang mampu bertahan bisa dihitung dengan jari. Antara tahun 1995-1999 hampir setiap rumah di Desa Roworejo memiliki usaha bidang konveksi khususnya produksi celana di desa itu. Ratusan produk celana berbagai model yang dipasarkan di sejumlah daerah di Indonesia merupakan hasil produksi sebanyak 120 perajin di desa itu.
Boleh dibilang, kala itu setiap warga di desa itu menjadi juragan celana. Ibaratnya, tukang ngarit pun menjadi bos setelah terjun membuat konveksi. Desa itu pun mirip perusahaan tekstil yang mampu menyerap tenaga kerja. Lihat saja, setiap unit usaha memiliki sebanyak lima hingga 30 karyawan yang berasal dari luar desa. "Wah, dulu di sini sudah mirip pusat industri tekstil. Lalu lalang di jalan dapat pasti menemui orang bawa produk celana," kenang Slamet (32) salah satu perajin di Dusun Krajan Roworejo, belum lama ini.
Ya, Slamet adalah satu dari sekitar 15 perajin yang masih bertahan berproduksi. Selebihnya, para pelaku usaha rumahan itu sudah gulung tikar. Berbagai penyebab menjadikan sebagian besar perajin di desa bangkrut. Kehabisan modal seiring dengan habisnya bahan baku dan hasil produksi, menyebabkan mereka terpaksa menghentikan produksi.
"Ibaratnya, berhenti dengan tidak meninggalkan hutang saja sudah lumayan," imbuhnya.
Menjadi hal menarik memang, dicari sebabnya. Bagaimana sentra industri kecil yang sudah sukses tiba-tiba kolaps begitu mudah. Dari penelusuran Suara Merdeka ada tiga hal utama yang menyebabkan runtuhnya "kerajaan" konveksi Roworejo. Yakni imbas dari ekonomi secara makro, imbas persaingan yang tidak sehat antar pedagang dan akibat dari kesalahan managemen keuangan tiap-tiap perajin yang berakar pada rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM).
Tiga hal itu saling terkait hingga bermuara pada sebuah kebangkrutan. Bagaimana tidak, di saat harga bahan baku mulai naik, para perajin justru menjual barang produksi sangat murah. Itu dampak antar perajin berjalan sendiri-sendiri, hingga harga dipermainkan tengkulak.
Celakanya, saat mereka menjual barang produksi dengan harga rendah, mereka imbangi dengan melakukan penurunan kualitas. Lama kelamaan para perajin pun mencapai titik nadzir yakni dengan habisnya modal usaha.
Padahal pada saat bersamaan barang produksi mereka habis. Sementara konsumen tidak lagi percaya karena rendahnya kualitas produksi. Meski berbagai usaha dilakukan untuk mempertahankan usaha, mulai dari menjual sepeda motor, menggadaikan sertivikat tanah, namun semua tidak menolong.
"Pokoknya habis-habisan lah, Mas yang penting bisa bertahan," ujar mantan juragan yang enggan disebutkan namanya.
Memang, sejumlah warga yang pada masa jayanya menjadi bos kini banyak yang kembali menjadi petani. Adapula yang merantau ke luar kota, bahkan adapula yang memilih menjadi TKI di luar negeri. Pada prinsipnya, mereka bekerja untuk bisa bertahan menghidupi keluarga dan ada yang untuk melunasi hutang.
Adapula yang bercita-cita mengumpulkan modal untuk mendirikan kembali usaha yang pernah mereka lakoni. Tentu tidak mudah karena masih terbalut trauma yang menjadikan psimis. Selain persaingan yang tidak sehat antar perajin, kata mantan perajin itu, penyebab yang tidak kalah berpengaruh besar pada keruntuhan usaha adalah, kesalahan menagemen pribadi.
Diakuinya, saat usahanya sedang berada di puncak, menjadikan ia lupa diri. Ketidaksiapan dengan uang banyak juga menjadikan dia euforia sebagai orang kaya baru. Itu memengaruhi gaya hidup, mulai dari hal yang kecil mulai dari menu makanan hingga berfoya-foya.
"Kalau mengingat-ingat dulu ya, menyesal juga," katanya mengaku ingin berusaha kembali mendirikan usaha yang pernah dirintisnya.
Sementara bagi para pelaku yang masih bertahan, pengalaman pahit masa lalu itu menjadi bahan pembelajaran yang cukup berharga. Setidaknya, bagaimana itu tidak terulang lagi pada para pelaku usaha yang saat ini masih bertahan. Dari pengalaman itulah, kini mereka mencoba mengembang usaha agar lebih besar.
Salah satu perajin yang saat ini cukub berhasil adalah Asir (35). Bermula dari bekerja di salah satu unit usaha di desa itu, 12 tahun lalu ia kemudian mendirikan usaha sendiri. Berkat kerja keras dan hati-hati dalam pengelolaan dan melakukan perhitungan bisnis, usahanya kini maju pesat. Dengan sebanyak 30 karyawan, dalam sehari Zizis Colection miliknya bisa memproduksi sebanyak 10 kodi/hari. Produk-produk celana itu dipasarkan di sejumlah wilayah di Jawa Barat, dan lokal Jawa Tengah seperti Purwokerto, Cilacap dan Banyumas.
"Kalau kapasitasnya 10 liter ya, harus diisi 10 liter, jangan sampai serakah karena bisa rugi sendiri," katanya selalu mengukur diri setiap akan melakukan langkah mengembangkan usahanya.
Diaku memang, banyak kendala, namun ia menyikapi dengan proporsional. Diantaranya, saat ini belum terbentuk semacam pegayuban di antara perajin. Namun meski masih berjalan sendiri-sendiri, persaingan masih sehat tidak seperi yang terdahulu.
Hal itu karena SDM perajin yang masih bertahan cukup baik, sehingga peritungan bisnis cukup rasional, tidak dengan emosi. Memang dulu, di Roworejo sudah pernah terbentuk paguyuban bahkan sudah ada kopersi. Namun lembaga ekonomi desa itu belum menunjukan kapasitas SDM yang memadai.
Paguyuban perajin konveksi yang tidak berjalan sama sekali. Kepala Disperindagkop Dirman Supardi SH mengkakui industri kecil di Roworejo dulu cukup baik. Namun saat ini mengalami keterpurukan. Pihaknya akan melakukan invetarisir penyebab keterpurukan industri kecil di desa itu.***

Komentar

Postingan Populer