Tekad Ponimin

"DARIPADA menjadi anak buah di kapal pesiar lebih baik menjadi nahkoda di biduk sendiri." Itulah barangkali ungkapan yang pas untuk mewakili tekad kuat Ponimin (53) untuk mandiri.

Bekerja di pabrik pembuatan eternit di Malang Jawa Timur sejak 1973, dua tahun lalu warga Desa Jatiluhur, Karanganyar Kebumen itu akhirnya memilih keluar. Ia membuat dan memasarkan sendiri bahan bangunan dari campuran kalsit, semen dan cacahan kain tersebut.

"Penghasilan lumayan lebih banyak. Namun yang paling berharga bagi saya adalah kebebasan yang saya miliki," ujar Ponimin di sela-sela menyelesaikan eternit yang sudah dipesan pelanggannya, kemarin.

Ada perbedaan cukup mencolok apa yang ia rasakan ketika menjadi buruh dan saat melakoni usaha di belakang rumahnya RT 3 RW 4 di Kampung Jerukgulung itu. Kapan mengawali kerja, istirahat, maupun waktu mengakhirinya dapat ia tentukan sendiri.

Pria yang lebih populer disapa Cuik itu tak perlu tegang dalam bekerja. Tidak ada mandor yang menegur, karena kini ia memandori dirinya sendiri. Meskipun demikian ia mengaku bertambah semangat, mengingat semua yang ia kerjakan bagi dirinya sendiri.

Bekerja dari pukul 08.00 hingga 14.00, rata-rata ia bisa membuat sebanyak 60 lembar eternit. Maklum tenaganya saat ini tidak seperti waktu masih muda ketika menjadi pekerja dulu. waktu itu ia bisa membuat sampai 100 eternit tiap harinya.

Selain di Malang, bapak empat anak itu sudah malang melintang di sejumlah pabrik pembuat eternit. Terakhir ia bekerja di pembuatan eternit milik pengusaha keturunan Tionghoa di Kebumen. Karena merasa umurnya sudah lanjut dan tanaga yang dimilikinya tidak banyak menghasilkan ia mulai ingin berhenti menjadi kuli.

Pada akhirnya, dengan segenap keberanian yang dimilikinya, Cuik lalu meminta ijin pada majikannya untuk berhenti. Dengan keahlian dan pengalaman menjadi pembuat eternit selama puluhan tahun, ia juga menyampaikan niatnya untuk membuat usaha pembuatan eternit sendiri.

Tidak dinyana, niatan itu malah mendapat dukungan dari majikannya, termasuk dijanjikan bantuan pemasarannya. Untuk kali pertama, eternit yang dibuat dibeli bekas majikannya itu. Dengan kualitas eternit yang ia produksi, pada akhirnya ia mulai dikenal masyarakat sekitar Desa Jatiluhur. Hingga kini para pemilik toko besi di Karanganyar hampir menjadi pelanggannya.

"Sebenarnya lumayan jika dikembangkan. Sayang belum punya modal dan keberanian yang cukup untuk mengambangkan usaha," imbuhnya.

Semua pekerjaan masih dilakukan secara tradisional. Mulai dari membuat adonan, menaruhnya di cetakan, meratakan, hingga mengepres sampai mengeringkan ia tangani sendiri. Karena tidak mempunyai alat press, Ponimin membuat alternatif dengan membuat silinder beton yang dibuat dari drum yang diisi adonan cor.

"Karayawan hanya membantu pasa banyak pesanan saja," katanya menyebutkan dirinya belum bisa menggaji untuk sampai bisa dipasang sebuah eternit membutuhkan waktu empat hari.
Satu lembar eternit berukuran satu kali setengah meter dijual secara eceran Rp 1.800/lembar. Sedangkan untuk toko bangunan harga lebih rendah yakni Rp 1.600/lembar.

Memang bagi dia tidak ada kata terlambat untuk memulai termasuk memulai mandiri. Meski belum banyak menyerap tenaga kerja, paling tidak satu orang pengangguran di Kebumen berkurang.

Dari data di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) setempat hingga pertengahan Juli 2007, jumlah pencari kerja yang tercatat mencapai 5.139 orang. Itu belum ditambah jumlah pencari kerja tahun sebelumnya yang mencapai 12.396 orang. Padahal lowongan yang yang tersedia sangat terbatas yakni sebanyak 189 lowongan untuk laki-laki dan 907 untuk perempuan.***

Komentar

Postingan Populer