Antara Saya & Kematian

Entah mengapa akhir-akhir ini saya seperti dipaksa melihat berbagai cara orang menghadapi kematian. Saking banyaknya, sulit untuk menghitungnya dan menyebutkan satu per satu bagaimana orang-orang (yang tidak aku kenal itu) meregang nyawa.

Saya juga terpaksa melihat jenazahnya yang ditemukan warga di sembarang tempat seperti seekor binatang yang ternistakan. Ada yang ditemukan warga membujur kaku di pinggir saluran irigasi dan dalam kondisi hampir membusuk. Baunya masya-Allah, membuat perut mual melebihi bau busuk apapun.

Adapula yang akhir hidupnya menjadi korban pembunuhan. Seperti belum lama ini, seorang laki-laki ditemukan mati dalam kondisi telanjangi dan ditenggelamkan di dalam bekas kolam ikan sebuah pekarangan. Sadis pula pelakunya. Selain mulutnya ditambal dengan plester, dua bagian tubuhnya diberi bandul berupa batu yang dimasukkan dalam karung "raskin". Mungkin hal itu dimaksudkan sebagai pemberat agar tubuh korbannya akan tengelam dan tidak diketahui orang lain.

Atau bahkan ada yang lebih sadis. Tubuhnya dimutilasi dan bagian-bagian dibuang di sejumlah tempat yang berbeda. Tidak jauh beda sebagian anggota tubuh korbannya itu juga ditengelamkan di dalam saluran irigasi teknis dengan diberi bandul pemberat agar tidak segera timbul. Adalagi orang yang dipanggil Tuhan dalam kondisi tubuhnya hancur karena tergilas kereta api. Entah karena kurang hati-hati saat menyeberang perlintasan tanpa palang, terlena karena tengah asyik maen handphone, atau yang tampak seperti sengaja mengakhiri hidupnya yang didera kemalangan.

Belum lama ini, seorang bapak, anak dan keponakannya mati secara bersamaan karena terlindas KA Argowilis yang memiliki bobot sekitar 237 ton. Suatu hari ada pula yang sengaja memilih mati dengan cara membakar diri di depan rumanya bersama sepeda motor kesayangannya.

Ada pula seorang pelajar yang mengakhiri hidupnya dengan ujung selendang milik ibunya. Ia ditemukan di pekarangan rumahnya saat aroma busuk mulai menyebar dari tubuhnya. Namun adapula pula yang menderita sakit bertahun-tahun sebelum ajal menjemputnya.Bahkan adapula yang mati tanpa diketemukan jasadnya. Barangkali tubuhnya sudah lenyap dimakan ikan dan hewan laut lainnya. Dia hilang di lautan, karena tenggelam bersama kapal tempat dia bekerja. Ada juga yang hilang saat mencoba mandi di pinggir pantai dan digulung oleh ombak laut selatan yang ganas.

Terkadang saya bertanya, mengapa saya diberi kesempatan melihat semua itu. Padahal sewaktu kecil, kata ibuku, melihat raungan mobil ambulance yang masuk desa saja aku langsung kaget dan jatuh sakit. Itu terjadi saat dua orang tetanggaku mengalami kecelakaan di jalan dan jenazahnya diantarkan ke rumah duka dengan sebuah ambulance.

Jika selama ini, saya diberi kesempatan melihat cara mati, menjadi berpikir bagaimana cara orang-orang yang saya kenal, atau orang tertedekatku. Bahkan aku sempat bertanya-tanya bagaimana cara Tuhan memanggil nyawaku. Apakah seperti si fulan yang mati di pinggir jalan menjadi korban tabrak lari, atau seperti seorang pekerja yang menghembuskan nafasnya saat masih di depan layar komputer, entah saat tengah main game solitaire atau asyik membuka facebook. Atau seperti salah satu tetanggku di kampung yang tertidur lalu tidak bangun lagi.

Saat mati pun ia seperti orang yang masih tertidur dan tengah bermimpi hal yang indah. Makanya ketika ingat itu, terkadang menjelang tidur saya sempat berpikir apakah saya akan bangun lagi. Alhamdulillah, sampai saat ini ketika umurkan sudah menginjak 29 tahun masih diberi kesempatan menjalani kehidupan dengan kondisi yang baik, sehat, meski tidak berlebih dalam materi.

Rejeki, jodoh dan kematian adalah takdir. Maka meski pergi pagi pulang malam, seperti waktu 24 jam sehari semalam terasa kurang untuk bekerja, pendapatan (saya tidak bilang rejeki) yang saya dapatkan hanya pas-pasan. Bahkan terasa kurang.

Lihat saja, berbagai keinginan untuk memiliki sesuatu harus menambung lama untuk terwujudkan. Bahkan dari daftar keinginan itu, dalam konteks materi hanya beberapa persen yang sudah terwujud. Kadang saya juga berpikir, jangan-jangan jatah saya dari Tuhan memang segini. Karena jika diberi yang sedikit berlabih akan lebih berdampak buruk lagi.

Tetapi mengapa penyakit merasa kekurangan, masih menghinggapi. Apakah saya ini termasuk orang-orang yang kurang atau tidak bersyukur? Sesekali sebagai hamba, saya sempat pula berdoa. Selain mendoakan orang tua, minta dijauhkan dari api neraka, dan di masukkan pada golongan orang yang bertaqwa, secara khusus meminta rejeki.

Meski sebenarnya saya malu, karena seperti anak durhaka yang minta dimanja oleh orangtua. Bahkan kadang-kadang saya berdoa seperti meminjam istilah Gus Mus (KH A Mustofa Bisri) "mendemontrasi" Tuhan. Meski tidak dilakukan beramai-ramai, maklum saya masuk kategori umat yang malas berjamaah; payah.

Kurang lebih mirip seperti doa mengancamnya Madrim dalam cerpen Jujur Prananto yang kini telah difilmkan. Lagi-lagi saya malu, untuk berharap Tuhan akan mengabulkan permintaan itu. Saya menjadi seperti orang Bashrah kini Irak yang bertanya kepada Ibrahim bin Adham tentang mengapa doa-doa mereka tidak dikabulkan?

Tokoh sufi yang termasyhur itu menjawab,"Hal itu dikarenakan hati kalian mati dalam 10 hal."Barangkali saya mengenal Allah, tapi tidak menunaikan hak-Nya. Barangkali aku sering membaca kitab Allah, tetapi tidak mengamalkannya. Barangkali aku mengaku mencitai Rosulullah tetapi tidak mengikuti sunahnya. Aku mengaku membenci setan tetapi ternyata selalu menyetujuinya.

Saya yakin mati itu pasti, tetapi ternyata tidak mempersiapkannya. Saya juga sering bilang takut neraka namun terus membiarkan diri terus menuju ke sana. Saya mendambakan syurga, tetapi tidak pernah beramal untuknya. Saya mungkin terlalu sibuk dengan aib-aib orang lain sampai mengabaikan aib sendiri. Ya, seperti yang aku kira, sering menikmati anugerah Tuhan namun tidak mensyukurinya.

"Kalian setiap kali mengubur jenazah-jenazah, tetapi tidak pernah mengambil pelajaran darinya," begitu jawaban ulama yang hidup sekitar abad VIII masehi itu membuat saya malu sendiri.

Kematian seseorang sebenarnya adalah bernilai pelajaran. Namun selama ini saya mungkin terlalu bodoh karena memadang kematian hanya sekadar memiliki nilai berita atau tidak. Orang yang meninggal dengan damai di rumah dan ditunggui anak istri cucu dan famili justru tidak pernah termuat dalam berita di surat kabar. Kalaupun dipaksa muat harus membayar puluhan juta karena harus memasang iklan duka cita.

Hari ini saya berpikir, dalam kematian yang indah itu ada banyak pelajaran yang menarik. Tidak mesti itu tokoh penting, pejabat negara, artis, ulama kondang. Bukankah manusia sama di hadapan Tuhan, dan sesungguhnya yang paling mulia di di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa tak peduli dia seorang fakir yang tinggal di kolong jembatan. Soal pensifatan orang bertaqwa diterangkan dalam QS Al Baqarah: 2-4 dan QS Ali Imran: 135-5. Ah, saya sudah seperti ustadz saja membawa-bawa dalil dalam celotehan ini.

Kembali pada soal kematian, saya masih akhirnya bersyukur mendapat kesempatan melihat banyak orang yang mati dengan cara-caranya tersendiri. Saya berusaha meski sulit tidak menjadikan kematian sebagai momok yang menakutkan. Seperti diajarkan para sufi, bahwa kematian begitu indah bahkan saat dengan dipenggal atau di tiang gantungan sekalipaun. Mati di jalan yang benar barangkali yang disebut kematian yang indah.Kematian adalah keniscahyaan. Semua orang bakal menghadapinya.

Sama seperti dunia yang fana, jabatan, profesi, kekuasaan tidak ada yang abadi. Sebuah syair Arab tampaknya cukup relevan saya ikut sertakan mengakhiri gerundelan saya, "Bila suatu ketika kau memikul jenazah ke kubur, ingatlah bahwa sesudah itu kau akan dipikul pula. Dan bila kau diserahi kekuasaan, ketahuilah suatu saat kau akan diturunkan/diberhentikan. (Wallahu A'lam)


Komentar

  1. kasminkasan@yahoo.co.id14 Oktober 2009 pukul 04.29

    ada dua cara untuk menjadi kaya: menabung atau beramal. menabung dalam kurun waktu tertentu didapat sejumlah sesuai yang ditabung. beramal??? (siapa menabur sedikit akan menuai sedikit)

    kematian itu datang seperti pencuri!!! ngapunten

    BalasHapus
  2. Begitulah, kematian memang misteri dan hanya yang mengetahuinya. Kita hanya ikhtiar agar kapan saja siap jika dia datang menjemput...

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer