profesi tagog

PROFESI sebagai tagog alias tukang gotong perahu barangkali tidak banyak dikenal oleh masyarakat. Profesi ini tentu saja kalah pamor jika dibandingkan profesi sebagai dokter, guru, pilot, polisi, tentara, ataupun pengusaha. Namun di daerah pesisir banyak warga yang menggantungkan penghasilan dari profesi sebagai tagog.

Ya, profesi tagog memang hanya ditemui di daerah pesisir yang terdapat kampung nelayan. Meski setiap hari mereka berada di pantai untuk mengotong perahu, namun tagog bukan seorang nelayan. Mereka tidak melaut untuk mencari ikan. Pekerjaan mereka sebatas membantu para nelayan menggotong perahu ke tepi laut saat nelayan hendak pergi melaut. Begitu sebaliknya, saat para nelayan datang mereka bertugas mengangkat perahu di lokasi parkir.

Di setiap pantai yang terdapat perahu nelayan, warga yang profesi sebagai tagog masti ada. Dua pantai yang paling banyak terdapat tagog adalah pantai Pasir dan pantai Menganti Desa karangduwur, Kecamatan Ayah.

Di pantai Menganti misalnya ada sekitar 36 orang tagog. Maklum di pantai itu terdapat sekitar 300 perahu nelayan. Jumlah tersebut hampir sama dengan yang ada di pantai Pasir. Sejumlah 36 tagog tersebut terdiri dari enam kelompok. Setiap kelompok terdiri dari enam orang anggota. Masing-masing kelompok ada sayu orang yang mereka tuakan dan dianggap sebagai ketua regu. Setiap regu juga memiliki wilayah kerja sediri-sendiri yakni membantu sekitar 50 perahu.

Salah satu diantara orang yang berprofesi sebagai tagog adalah Satam (57). Warga Desa Karangduwur tersebut sudah 10 tahun menjalani profesi sebagai tukang gotong perahu. Bersama lima orang rekannya dia setiap hari bertugas membantu para nelayan yang akan pergi melaut atau mereka yang mendarat di Pantai Menganti.

Adapun upah yang diperoleh berasal dari pemberian para nelayan. Penghasilan per hari tidak menentu karena jumlahnya pemberian tidak dipatok alias bersifat sukarela. Jika pada saat hasil tangkapan nelayan sedang tinggi, para tagog seperti Satam ikut mendapat limpahan rejeki. Namun jika hasil tangkapan minim, dalam sehari bisa-bisa mereka bisa tidak mendapatkan apa-apa.

"Kalau hari normal biasanya kami bisa membawa pulang Rp 20.000. Namun kalau lagi paceklik ya kadang blong," kata bapak tiga orang anak itu, kemarin.

Jumah (40) tagog lainnya mengatakan, tagog di pantai Menganti sebagian besar berasal dari desa Karanduwur. Mereka memilih sebagai profesi sebagai tagog karena berbagai alasan. Diantaranya tidak memiliki perahu. Namun ada pula yang tidak bakat menjadi nelayan.

"Kalau di pesisir seperti ini mau kerja apalagi. Yang penting halal," kata Jumah seraya menyebutkan selama masih kuat dia akan melakoni pekerjaan itu.

Bagi para nelayan, keberadaan tagog cukup membantu kerja mereka. Pasalnya, tanpa bantuan tenaga dari mereka, para nelayan kesulitan saat akan melaut dan mendarat. Mengingat untuk satu perahu rata-rata hanya ditumpangi oleh dua orang nelayan. "Tentu saja tanpa bantuan orang lain, kami tidak bisa mengangkat perahu," ujar Niman, saorang nelayan.***

Komentar

Postingan Populer