Kuliah Managemen di Warung Kelontong

CUKUP lama saya berbincang dengan seorang pedagang warung kelontong di pojok jalan protokol tengah kota di Kabupaten Kebumen, beberapa waktu lalu. Banyak hal kami omongkan, mulai dari semakin sepinya pembeli warung, sampai masalah Pemilu Presiden.

Karena terlanjut dicap sebagai pendengar yang baik oleh sebagian orang, saya pun mendengarkan kisah pria setengah baya yang saya panggil Koh Chan itu hingga tuntas. Bahkan saat dia lama terdiam, saya masih takut untuk memotong kata-katanya. Barangkali dia tengah berpikir keras untuk mengeluarkan kisah-kisah terbaiknya.

Namanya juga ngobrol, tentu banyak hal dibicarakan. Kami bebas melompat-lompat dari tema satu ke tema lain. Sebebas obrolan warung kopi Lek Masinah (sebuah warung kopi terkenal kampung saya Dukuh Tambakan, Pati), karena tidak ada moderator yang mengatur waktu untuk menjawab. Selama perbincangan itu kami tidak perlu jaga pencitraan diri karena tidak ada satupun kamera menyorot kami berdua.

Sore itu, saya berguru banyak hal tentang kehidupan. Satu pelajaran berharga saya dapatkan. "Mencari uang itu memang sulit. Tapi yang lebih sulit adalah bagaimana mengaturnya," kata Koh Chan seperti mengutip buku kumpulan kata mutiara.

Meski sering berbincang dengan warga keturunan, namun tak banyak yang bisa memberi pangaruh sedahsyat Koh Chan. Setiap kata-katanya penuh makna seperti guru besar yang tengah membacakan pidato pengukuhannya.

Sepulang dari itu, saya pun berjanji akan mempraktikkan semua teori yang saya dapatkan.Saking semangatnya, saya bertekad akan melebihi apa yang ia lakukan. Tentu apa yang saya dapat akan lebih dari apa yang ia peroleh.

Makan malam saya jadikan ujicoba pertama. Kebiasaan makan di warung Padang Jawa (meski tulisannya warung padang yang jual orang Kebumen, he he) pun saya ganti. Warung angkringan pun menjadi pilihan. Tak tanggung, saya hanya membawa uang Rp 4.000 untuk alokasi anggaran makan malam. Jumlah itu sepertiganya jika makan di warung padang yang biasanya meludeskan Rp 12.000 ditambah Rp 500 untuk biaya parkir.
****
Lain dari biasanya tukang angkringan itu memadang dengan curiga. Sepertinya ia tahu saya tidak akan membeli terlalu banyak di warungnya. "Jahe,,,," suara saya henti sebelum bilang kata "susu hangat". Tukang angkring itu pun meneruskan "Jahe susu, anget atau es," katanya. "Jahe anget," tegasku melupakan keiginginan minum jahe susu hangat.

Masih dibakar oleh wejangan, saya makan dengan lahab dua bungkus nasi kucing cuma dengan lauk satu gorengan yang sudah masuk angin. Terakhir jahe hangat tanpa susu itu mengakhiri ritual makan malamku dengan setengah sempurna. "Rp 3.000, Mas." Saya tak percaya mendengarkan, lalu saya ulangi sekali lagi. Jawabannya sama. "Ah, dahsyat. Tersisa Rp 1.000," pikirkan.

Seperti praktisi bisnis multi level marketing (mlm) handal, saya lalu melakukan kalkulasi. Jika saya bisa menghemat lebih dari 60 persen setiap hari tentu dana itu bisa dialokasikan untuk hal-hal besar. Bukan hanya makan malam saja yang harus dihemat anggarannya, untuk sarapan, makan siang, beli pulsa handphone, bayar jasa cuci pakaian, bensin, sampai jatah kontrakan. "Pemikiran yang luar biasa," pikirku.

Sebenarnya muncul gagasan mengurangi sumbangan sosial per bulan. Tapi sontak suara bapak saya muncul tiba-tiba melarang niatan saya. Memang, waktu belum berhemat saja, saya tergolong pelit, tidak tahu apa kata orang setelah saya menerapakan managemen dari perkuliahan di warung kelontong itu.

Malam itu saya sampai terperanjat gara-gara menghitung jumlah penghematan yang saya hitung jika dilakukan selama setahun. Gara-gara kesulitan berhitung, saya tertidur dengan bayangan angka-angka. Maklum nilai Matematika saya sungguh memalukan untuk dipamerkan.

***
Ketika bagun pagi, kamar tidur penuh kertas bekas corat-coret penjumlahan. Persis kamar anak kelas 5 SD menjelang ujian sekolah. Di layar handphone juga masih saya dapati angka dari hasil penjumlahan Rp 17.560.900, yang entah dari hasil penjumlahan mana saja.

Seperti layaknya anak petani, bangun pagi selalu berteriak mencari makanan. Maklum lewat pukul 05.30, orangtua kami sudah hilang ditelan kabut di sawah. Jika sampai jam segitu belum sarapan, kami bisa kelaparan di sekolahan.

Saya pun bergegas ke warung makan. Sebenarnya warung yang biasa di jejali para pegawai negeri dan karyawan swasta saat jam makan siang itu belum dibuka. Namun saya nekat dan setengah memaksa minta dilayani. Hanya ada nasi, rica-cica bebek yang baru matang, teh hangat, dan sejumah sayuran. Dengan lahap saya menyantapnya, sampai saya sadar usai berhitung harus membayar Rp 11.500.

Saya pulang sambil mengingat ajaran "mencari uang itu memang sulit. Tapi yang lebih sulit adalah bagaimana mengaturnya." Sayang sifat pelupa yang akut masih terpelihara. Begitu terus terus berulang sampai hari ini. ***

Komentar

  1. wah lumayan menarik lo artikelnya kebetulan saya juga lagi nerapin penghematan (sedekah/santunan bulanan tidak saya kurangi) kayaknya lumayan terasa hasilnya cuma krn saya suka makan lahap, gaya hidup yang dulu suka makan di luar sekarang ganti makan di rumah rasa lebih enak dan lahap tapi hemat. selamat mencoba...

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer