menunggu bedug

PADA bulan Ramadan, ada satu momentum yang paling ditunggu terutama bagi orang beriman yang berpuasa. Azan maghrib. Jika untuk hal lain, menunggu sangat membosankan, menanti adzan maghrib saat berpuasa memiliki sensasi yang tak tertandingi.

Selama hidup, ribuan hingga jutaan kali memaksa kita harus menunggu. Tentu, semua itu kita jalani dengan suasana yang tidak menyenangkan. Saat menunggu bapak pulang dari sawah untuk minta uang jajan, atau menunggu giliran pentas lomba menyanyi saat masih SD, hingga ketika menunggu giliran saat sibuyung akan disunat.

Beranjak besar, ada yang terpaksa merasakan bagaimana menunggu kiriman wesel dari kampung yang tak kunjung tiba. Menunggu pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi seperti dialami ribuan lulusan SLTA malam ini, atau menanti wawancara pertama kali saat melamar kerja. Tentu tidak terhingga untuk disebutkan persatu. Pastinya sulit menemukan bahwa menunggu yang menyenangkan selain menantikan bedug yang disusul azan maghrib berkumandang.

Ya, bunyi bedug maghrib entah siapapun penabuhnya serasa lebih syahdu ketimbang gebukan drum Pepep St 12, atau tidak kalah lincah dari gebukan Eno Netral. Meski bedug ditabuh laki-laki renta hampir seabad, Joe Jordison dari Slipknot tentu kalah mantep. Kencengnya tabuhan Michael “Moose” Thomas dari Bullet For My Valentine masih kalah menggetarkan kelelewar untuk keluar dari sarangnya.

Deretan drumer grup band Dewa mulai Wawan, Bimo, Wong Aksan, Tyo Nugros hingga Agung tidak pernah sanggup menandingi seksinya tabuhan bedug, dari mushola reot di pinggir kali sekalipun. Bunyi bedug tidak pernah berubah. Ritmenya sama, pelan, sedikit cepat, makin cepat dan kembali ke pelan Entah siapa yang menciptakan, hingga tidak ada yang berniat mengganti iramanya.

Selalu ada yang menyenangkan saat nenunggu bedug. Bagi anak-anak di pedesaan, seperti saya, dahulu mencari jambu wer di pinggiran desa tak tergantikan bahagianya. Lain lagi untuk bocah-bocah di pinggiran stasiun, membuat pisau dari paku yang dilindaskan roda kereta sudah menjadi tradisi. Kerasnya jeritan, saat roda kereta melindas paku serupa pisau dapur tak, membuat mereka tak sabar seharian belum makan.

Berjubel di masjid kampus, menghadiri ceramah ilmiah yang menghadirkan pembicara yang berderet gelar adalah salah satu alternatif menunggu bedug bagi mahasiswa tak bermodal. Kelompok ini menamakan diri sebagai aktifis takzilan. Sekitar tahun 2000-an di Yogya, kelompok ini organisir oleh mahasiswa pinggiran, yang begitu rapi sindikatnya.

Ada yang bertugas semacam intel yang mengumpulkan data di mana saja ada ceramah. Ada yang mencatat, dan menjadi korlap. Kebetulah saya salah satu anggota biasa. Ya, tujuan utama sebenarnya bukan ceramah itu, melainkan menu makanan yang dihidangkan para dermawan. Sayang semua itu tidak bisa dibawa pulang.

Namun bagi kalangan berduit atau sekadar dikira borjuis, lebih memilih jalan-jalan di mall, nongkrong di kafe yang sebenarnya belum buka. Memilih alun-alun kota sambil jualan kolak pisang, atau berzikir di depan layar televisi, sampai menghatamkan membaca al kitab sampai 30 juz sambil status di facebook adalah pilihan lain.

Semua masa lalu menunggu bedug begitu manis saat dikenang, meski cukup tragis. Ramadan tahun ini saya belum menyusun rencana mengisi waktu menunggu bedug. Karena mustahil untuk kembali menjadi aktifias takzilan, jualan kolak, apalagi ke mall, karena entah sejak kapan waktu sore sudah saya gadekan atas nama pekerjaan. Bahkan entah berapa lama saya lupa bagaimana warna matahari saat tenggelam kecuali di dalam televisi saat menyiarkan adzan magrib atau dalam foto di internet.

Ah, lama saya telah kehilangan senja.

Berzikir sambil menulis, begitu selalu ingin saya lakukan untuk menunggu suara panggilan itu. Saat jari-jemari menghitung huruf, mengeja kata menjadi kalimat saya berharap ada nilai ibadah. Meski sekadar menyimak ayat-ayat al kitab dari mp3, semoga tidak mengurangi takzimku kepada-Nya. (wallahu a'lam)

Komentar

Postingan Populer