sagon kelapa

LEBARAN identik dengan suguhan penganan berupa kue kering. Namun sekarang ini tidak banyak lagi dijumpai masyarakat yang menyuguhkan kue kering tradisional seperti sagon kelapa, kue semprong, bolu emprit, dan roti kacang. Mereka lebih memilih kue kering buatan pabrik yang dinilai lebih berkelas dan bagus kemasannya.

Akibatnya kue-kue kering tradisional yang dulu pernah berjaya, semakin meredup popularitasnya. Padahal sebagin besar kue-kue itu diproduksi oleh industri kecil maupun industri rumah tangga. Dampak dari menurunnya permintaan, dari tahun ke tahun produksi para perajin pun terus menurun.

Salah satunya dialami oleh Tarmini (60) perajin sagon kelapa di Dusun Penasapan Desa Kebulusan, Kecamatan Pejagoan, Kebumen. Perempuan yang menekuni usaha kue sagon sejak tahun 1968 itu mengaku sebelum tahun 2000, ia memproduksi penganan yang diolah dari tepung ketan, gula pasir dan kelapa itu setiap hari. Namun saat ini dia hanya memproduksi seminggu dua kali saja.

"Pembuatan hanya untuk memenuhi pesanan dari langganan saja," ujar Parmini saat ditemui di rumahnya, Kamis (27/8).

Saat ini produksi dilakukan setiap hari hanya pada saat bulan Ramadan dan Lebaran. Mengingat bulan puasa permintaan kue sagon meningkat. Dengan dibantu oleh lima tenaga kerja yang masih famili Tarmini dapat menghabiskan 36 kg tepung ketan, 22 kg gula pasir dan 55 butir kelapa. Sagon kelapa yang dikemas dan dilebeli merek "Sari Rasa" itu kemudian dipasarkan ke toko dan pasar tradisional dengan harga Rp 13.000/kg.

"Meski permintaan sagon meningkat, namun masih kalah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya," ujarnya seraya menyebutkan dia pernah membuat sagon kelapa hingga satu kwintal.

Perempuan yang memiliki delapan anak itu menyebutkan, selain karena permintaan yang menurun, dia mengaku kesulitan mendapatkan tenaga yang ahli membuat kue. Pasalnya, tidak semua orang bisa membuat kue sagon dengan rasa yang gurih.

"Dulu saya pernah membuat roti kacang, tetapi karena tidak ada tenaganya jadi sekarang tidak memproduksi lagi," imbuhnya seraya menyebutkan dia tidak menggunakan bahan pengawet maupun pemanis buatan dalam produk buatannya.

Penurunan produksi kue tradisional juga dialami para perajin kue tradisional di Desa Surotrunan, Kecamatan Alian. Di desa yang dikenal sebagai sentra industri kue kering itu, saat masih jaya, para perajin bisa menghasilkan ratusan kilogram kue kering setiap hari. Mereka juga masih mudah untuk memasarkan kue buatan mereka kepada pedagang.

"Namun saat ini toko-toko kue sudah tidak ada yang mau dititipi kue kering dengan alasan kue itu sudah tak laku lagi," ujar Ny Asmuni, salah seorang perajin.

Diakuinya, kue tradisional yang diproduksi oleh para perajin masih sangat sederhana dari sisi kemasan dan bentuknya. Hal itu berbeda dengan kue kemasan buatan pabrik yang lebih menarik. Diperlukan inovasi dari para perajin agar penganan tradisional khas Kebumen itu mampu bisa bersaing dengan kue buatan pabrik.

Produksi kue tradisional saat ini, imbuh dia, hanya berdasarkan pesanan warga untuk dijadikan oleh-oleh saat mudik. Menjelang Ramadan perajin kebanjiran pesanan dari warga berbagai desa yang ingin menjadikan kue tradisional sebagai suguhan. "Namun setelah Ramadan, permintaan kembali menurun dan perajin sepi kembali," tuturnya.***


Komentar

  1. Kue sagon adalah My Favorit, rasanya unik bentuknya juga masif..sekarangpun saya menjual Sagon sebagai andalan di galery saya...Salam kenal buat Ny Tarmini dan Ny Asmuni...jangan berkecil hati..semakin sedikit peminatnya..berarti semakin tinggi harganya..Amiin

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer