Pulang Kampung

TIDAK terasa, tahun ini sudah sekitar 15 tahun saya tidak lagi tinggal bersama orangtua di desa. Maklum, sejak duduk kelas dua sekolah menengah pertama saya mulai tinggal jauh dari orang tua. Selama 10 tahun terakhir ini, intensitas saya untuk menengok orangtua di desa juga semakin berkurang.

Saat masih kuliah di Yogya, mungkin hanya sekitar tiga bulan sekali saya pulang kampung. Intensitas itu terus berkurang saat memasuki dunia kerja. Atas nama kesibukan, waktu untuk bertemu dengan keluarga pun semakin tersita. Larut dan menikmati dalam peran sebagai seorang karyawan rendahan, membuat saya mementingkan pekerjaan daripada keluarga.

Kampung saya adalah sebuah desa yang dibelah oleh rawan Jalan Raya Pantura antara Semarang-Surabaya, persisnya di lereng sebelah selatan bukit Pati Ayam. Dukuh Tambakan RT 01 RW 02 Desa Bumirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, alamat lengkapnya. Meski masih dalam satu provinsi dari tempat saya tinggal sekarang, sekitar tujuh jam perjalanan darat, terasa sangat jauh untuk ditempuh. Buruknya transportasi umum, membuat saya kerap kali menjadi alasan mengapa saya malas pulang.

Namun, momentum Lebaran memaksa saya mengingat orangtua dan keluarga besar saya di desa. Bahkan, sampai umur menjelang 29 tahun ini, belum satu momentum lebaran pun saya lewatkan tanpa berkumpul dengan keluarga. Doa yang selalu saya panjatkan, tahun-tahun ke depan, semoga saya masih tetap bisa bersama keluarga saat hari raya tiba. Berbagi kebahagiaan dengan orang tua, adik, kakak, paman, keponakan, dan para tetangga dekat adalah kebahagiaan tersendiri.

Pulang kampung juga ibarat mengaca dari mana asal muasal saya ada. Ritus tahunan itu memunculkan kesadaran baru dalam diri saya. Kesadaran itulah yang bakal menjadi spirit untuk menjalani kehidupan saya berikutnya. Misalnya, saat sembahyang Idul Fitri di masjid kampung, sengaja saya memilih barisan paling belakang. Dari lokasi saya berada itu, dapat terlihat hiruk pikuk jamaah. Sesekali menyapa dan berjabat tangan orang-orang yang masih mengenali saya. Termasuk teman-teman yang sama-sama pulang dari perantauan.

Saya sadar, bertahun-tahun kampung ini saya tinggalkan, banyak yang telah berubah. Terutama para penghuninya. Sampai-sampai terkadang saya merasa makin terasing di tanah kelahiran sendiri. Semakin banyak pula wajah yang tak saya kenali, seperti mereka yang menikah dengan orang desa kami. Bagi mereka, saya juga mungkin disebut warga asing karena tak pernah terlihat sebelumnya. Wajah-wajah generasi baru bermunculan di desa saya. Seperti gemerap bocah-bocah yang ternyata adalah anak teman mainku sendiri semasa kecil.

Sedangkan wajah-wajah lama sudah semakin menghilang. Saat menengok pemakaman persis di samping masjid, banyak gundukan tanah baru menandai rumah terakhir warga desa kami. Di pemakaman di tengah desa itulah jasad warga dusun kami akan beristirah menyatu kembali dengan bumi. Maka pemakaman itu sengaja dibuat di tengah pemukiman untuk mengingatkan bahwa kelak di situlah kami bertuju.

Lik Ngatimah dan Lik Jaminah adalah dua orang yang masih belum tua. Namun mereka sudah pergi lebih dahulu untuk selama-lamanya. Mereka menjadi penghuni baru di rumah leluhur kami. Padahal lebaran tahun lalu, tawa renyahnya masih menyapa saya saat berkunjung ke rumahnya, 300 meter dari rumah saya. Namun Lebaran tahun ini tidak bisa lagi saya menjabat tangannya untuk memohon maaf.

Warga di kampung saya sangat menghormati para leluhur. Sebab tanpa leluhur kami tidak akan pernah ada di dunia. Biasanya kepada mereka yang telah mendahului, warga kampung saya selalu menggelar doa bersama. Saat itulah terbersit dalam benak saya, lebaran tahun depan tentu ada yang datang dan pergi silih berganti. Dari yang ada menjadi tidak ada, dan dari yang tidak ada menjadi ada.

Begitulah siklus kehidupan itu saya melihatnya jelas saat pulang kampung. Juga, saat menyaksikan bocah-bocah berebut makanan kenduren, saya tersenyum. Tapi juga sedih. Betapa cepat waktu berlalu. Saya semakin dimakan umur dan jauh meninggalkan masa kanak-kanak. Bagaimana kami belajar berpuasa selama setengah hari. "Puasa Bedug", kami menyebutnya.

Masih lekat dalam ingatan saya, setiap berkumandang adzan dzuhur, saya makan dengan lahap nasi lauk tempe goreng dan oseng-oseng kacang pajang masakan orang ibu saya. Makan segera kami selesaikan setelah mudazin memungkasi puji pujian dan mengumandankan iqamah. Iqomah paling kami benci karena menandai selesai waktu berbuka, dan kami pun melanjutkan puasa sampai bedug maghrib tiba.

Namun, para muadzin di desa kami sepertinya tahu. Setiap adzan dzuhur mereka selalu berlama-lama, seolah memberikan waktu kepada kami, bocah-bocah yang belajar puasa, untuk jenak menyantap makanan dan mencuci mulut dengan jambu wer yang kami kumpulkan dari pinggir kali. Berbeda jika yang menjadi muadzin adalah Lik Wadi. Adzan yang dikumandangkan begitu cepat, yang sulit membedakan antara adzan dan teriakan minta tolong terjadi kebakaran. Dia seolah tak rela memberi waktu jeda kepada kami untuk berbuka. Makan kami pun seperti prajurit yang makan nasi ramsum di bawah hitungan komandannya.

Pernah suatu hari, Lik Wadi digeruduk sejumlah orangtua, gara-gara ulahnya mengakhiri adzan tanpa pujian terlebih dahulu. Seorang anak tersedak karena tergesa-gesa makan. Kami, anak-anak mengusulkan agar dia diskors dari muadzin salat dzuhur selama bulan puasa.

Yah, tidak disangka peristiwa itu sudah 20 tahun berlalu. Lebaran tahun ini, tingkah kelucuan itu saya dapati pada diri anak semata wayang kakak saya. Meski masih kelas satu sekolah dasar (SD), keponakan saya itu sudah belajar puasa walau setengah hari. Ulfi nama, keponakan saya itu. Dia cerdas. Selalu pulang sekolah lebih awal dibanding teman-temannya. Ceritanya, ibu gurunya selalu memberi pertanyaan sebelum pulang sekolah. Siapa yang paling cepat menjawab, dialah yang paling awal pulang. Keponakan saya itu selalu pertama kali mengacungkan jarinya dan berteriak kencang saat menjawabnya.

Lebaran demi Lebaran terus berlalu. Perubahan demi perubahan terjadi. Lahan kosong di dusun saya saat ini semakin dipadati oleh rumah penduduk yang dibangun bergerombol dan saling berhimpit. Keterbatasan lahan membuat seorang anak mendirikan rumah berdesakan dengan orang tuanya. Begitu juga saat melihat orangtua saya semakin sepuh. Kerut di wajahnya mulai bermunculan akibat dimakan usia. Padahal belum banyak saya membalas kebaikannya.

Barangkali kesadaran yang sama dirasakan oleh para pemudik selain saya. Sehingga mereka rela melipat jarak ratusan hingga ribuan kilometer dengan mobil pribadi, kereta api, bus ekonomi, hingga menggunakan sepeda motor untuk pulang kampung saat hari Lebaran. Semoga Allah memberi umur panjang, sehingga kita menjumpai hari raya Idul Fitri 1431 Hijriyah mendatang.

Mohon Maaf Lahir & Batin.


Komentar

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer