Akhirnya Saya Dipanggil Polisi (1)

PERKARA yang menimpa wartawan Radar Banyumas, Chuby Tamansari dalam kasus pencemarkan nama baik sebagaimana pasal 310 KUHP akhirnya membawa saya berurusan dengan aparat kepolisian. Senin, 04 Januari 2009 pukul 13.46 WIB, saya menerima surat panggilan pemeriksaan dari Polres Kebumen. Surat dalam amplop berkop Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Kebumen itu disampaikan dua orang kepada saya di kantor PWI Kebumen, Jalan HM Sarbini No. 29.

Dalam surat panggilan yang tertulis PRO JUSTITIA, No. Pol.: SP/02/I/2010/Reskrim yang ditandatangani oleh Kasat Reskrim Polres Kebumen, AKP Priyo Handoko SH selaku penyidik, saya dipanggil untuk menghadap Aiptu Sugiono di ruang Sat Reskrim Kamis 07 Januari 2009 pada pukul 09.00 WIB. Pemanggilan saya, menurut surat itu, untuk didengar keterangan saya sebagai saksi dalam perkara tindak pidana pencemaran nama baik.

Perkara ini bermula saat Chuby menulis berita tentang isu pembongkaran pemakaman di Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kebumen. Tulisan berjudul "Isu Mayat Hidup Gegerkan Warga Kedawung" itu dimuat menjadi headline hari Sabtu, 10 Otober 2009 edisi Radar Kebumen, dengan dilengkapi foto pendukung serta feature. Namun keluarga yang diberitakan tidak terima dan melaporkan wartawan penulis berita kepada aparat kepolisian, dalam hal ini Mapolsek Pejagoan. Laporan Polisi No. Pol. : LP/08/K/X/2009/Sek Pejagoan itulah yang menjadi salah satu dasar pemanggilan terhadap saya untuk menjadi saksi.

Sebelumnya, pihak kepolisian juga telah memanggil sejumlah wartawan Radar Banyumas, termasuk Chuby Tamansari. Selain itu wartawan Radar Banyumas yang bertugas di Kebumen lainnya juga turut dipanggil pihak kepolisian, yakni Fuad Hasyim dan Cahyo Kuncoro. Memang pemanggilan para wartawan di Kabupaten Kebumen oleh pihak kepolisian tidak seheboh saat Mabes Polri memanggil redaksi harian KOMPAS dan Seputar Indonesia beberapa waktu lalu.

Pemanggilan terhadap wartawan oleh kepolisian terkait sebuah pemberitaan itu disayangkan oleh Ketua PWI Jawa Tengah IV, Drs Komper Wardopo. Mengingat, sebetulnya masalah tersebut bisa diselesaikan dengan mekanisme hak jawab sesuai dengan Undang- undang Pers. Tentu sangat disayangkan apabila harus ada pemanggilan wartawan dengan delik aduan pencemaran nama baik menggunakan KUHP. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi tugas wartawan dalam mengakses berita dan menyampaikannya kepada publik.

"Kalau harus diakhiri dengan pelaporan dan pemanggilan wartawan itu juga sama saja memangkas kebebasan pers," ujar Komper Wardopo seperti dikutip sejumlah media.

Sepakat dengan itu. Apalagi pihak Radar Banyumas sesungguhnya menuliskan sebuah berita yang umum. Artinya sudah jelas-jelas publik mengetahui kejadian itu dengan bukti banyak warga yang menjadi saksi di lokasi kejadian. Selain itu Radar Banyumas juga telah melakukan mediasi dan menyarankan untuk menyelesaikan dengan penggunaan hak jawab.
***
Peristiwa itu bermula, saat sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya, Kamis tanggal 08 Oktober 2009 malam. Dalam memory ponsel tercatat pukul 19:21:35 sebuah pesan singkat dari seorang kenalan dengan nomor +628180471xxxx tertuliskan "Tiga kyai bermimpi sama, yg udah mati beberapa minggu masih hidup maka makam depan Pasar keputihan desa kedawung malam ini akan di bongkar."

Saat menerima sms itu, saya kebetulan berada di kantor sekretariat PWI Kebumen. Informasi tersebut kemudian saya sampaikan ke teman-teman yang pada saat itu juga berada di sana. Yakni Fuad Hasyim dan Chuby Tamansari, keduanya wartawan Radar Banyumas. Merasa penasaran, kami bertiga ke lokasi pemakaman yang disebutkan. Hal itu semata-mata naluri jurnalistik dan untuk membuktikan adanya isu tersebut. Saat kami tiba di lokasi, ternyata sudah banyak orang berkumpul di sana. Kedatangan mereka juga karena mendapat informasi akan adanya pembongkaran kuburan. Di lokasi itu kami menggali informasi awal serta mendengarkan cerita yang berkembang di masyarakat.

Adapun cerita yang saya dengar dari masyarakat kurang lebih sama dengan apa yang ditulis oleh Chuby dalam beritanya.

Setelah memperoleh data awal, sekitar pukul 22.00 WIB kami mendatangi Mapolsek Pejagoan untuk menanyakan apakah ada surat masuk atau ijin tentang pembongkaran jenazah. Menurut petugas yang tidak sempat saya catat namanya, dikatakan tidak ada surat ijin maupun pemberitahuan pembongkaran jenazah. Mengetahui kondisi itu, saya memutuskan pulang, mengingat pada jam selarut itu tidak memungkinkan berita itu bisa tayang pagi harinya.

Namun sebelumnya, untuk mengantisipasi keadaan, saya meninggalkan nomor ponsel kepada seorang warga seraya meminta untuk dikabari jika ada perkembangan. Saya pun pulang. Pada pukul 23:13:19 WIB sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya, dari nomor +628783793xxxx, yang berbunyi "Mas maaf cari info sendiri, aku ada perlu,di mkam msih banyak orang." Setelah membalas sms itu, saya beristirahat sampai pagi.

Keesokan harinya, tidak ada informasi lebih lanjut tentang isu tersebut. Apalagi saya disibukkan dengan agenda liputan lain sehingga tidak menindaklanjuti peristiwa tersebut. Di sisi lain, Chuby ternyata tertarik menindaklanjuti sendirian dengan melakukan reportase melengkapi materi tulisan. Hal itu saya ketahui setelah membaca berita tersebut di Radar Kebumen edisi Sabtu 10 Oktober 2009.

Menurut saya, peristiwa itu memang menarik untuk dijadikan sebuah laporan jurnalistik. Betapa sebuah isu begitu kuat hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk berbondong-bondong ke pemakaman. Setelah membaca berita itu, saya juga melihat bahwa ada konfirmasi dari Kepala Desa Kedawung Nur Rohman dan Kapolsek Pejagoan AKP Tri Warso Nurwulan yang intinya menjelaskan bahwa isu yang berkembang tersebut adalah tidak benar. (wallahu a'lam)


Komentar

Postingan Populer