Akhirnya Saya Dipanggil Polisi (2-habis)

"Biasanya di depan pak pulisi, saya banyak bertanya. Namun hari ini saya justru hanya disuruh menjawab." Begitu bunyi dua kalimat yang saya tulis di status Facebook, sesaat setelah duduk di hadapan penyidik Polres Kebumen, Kamis (7/1/2010).

Meski dalam surat panggilan, saya akan diperiksa di ruang Satuan Reskrim, namun ternyata pemeriksaan dilakukan di ruang Tidak Pidana Korupsi (Tipikor). Pemeriksaan dimulai sekitar pukul 09.30 atau terlambat 30 menit dari dari jadwal. Ada 14 pertanyaan yang harus saya jawab, meskipun ada beberapa yang sudah terisi meski aku belum menjawabnya. Semisal pertanyaan apakah saya dalam kondisi sehat jiwa dan memberi jawaban tanpa tekanan.

Saya nggak protes, bahkan bangga karena dinilai sehat ruhani dan tidak tampak seperti orang yang tekanan. Maklum akibat berbagai tekanan seperti ekonomi, ditinggal kabur pasangan atau tak kuat atas tekanan istri yang maniak mengintimidasi melatar belakangi kasus bunuh diri di Kebumen. Empat belas pertanyaan itu dilontarkan penyidik yang terdiri dari Aiptu Sugiyono, Aiptu Sujatno dan pembantu penyidik Bripka Mardi SH hingga pukul 10.50 WIB.

Pengenalan diri mengawali kesaksian saya, karena pertanyaan pertama adalah seputar biodata. Tak mungkin saya lupa siapa nama, berapa umur, di mana tinggal, kapan tanggal lahir dan apa pekerjaan serta siapa nama bapak saya. (Yeah Pak Sugiyono jadi tahu namanya sama dengan nama bapakku...he eh ehe). Sayang, tidak ada pertanyaan mengenai jenis kelamin. Penyidik tampaknya langsung berkesimpulan bahwa saya laki-laki karena mengenakan paduan kemeja dan celana jins serta sepatu gunung.

Mereka tidak sadar bahwa dalam surat panggilan, jenis kelamin saya tertulis perempuan. Mereka tak tahu, padahal akibatnya saya harus rela dipanggil "nona anto", atau juga yang sampai mengusulkan ganti kelamin. Mereka seperti tak berdosa telah mengganti jenis kelaminku, seperti ketika saat saya menurunkan paksa pangkat satu tingkat seorang perwira TNI, dalam tulisanku. (maaf komandan).

Secara umum, pertanyaan lainnya tidak sulit untuk menjawabnya karena pertanyaan normatif . Misalnya, saat ditanya apa tugas wartawan. Halah, gampang. "Membuat berita dan mengirimkan ke redaksi," jawabku secepat Lintang menghitung soal matematika dalam film Laskar Pelangi. Kemudian ditanya lagi apakah caption, saya menjawab singkat sekali. "Keterangan foto." Srategi itulah yang saya pakai untuk menjawab soal ujian mata kuliah Kewiraan, yang dosennya menganggap diktat buatannya melebihi kitap suci agama manapun.

Namun seingat saya, ada satu pertanyaan yang saya jawab namun sebenarnya tak memberi jawaban. Maklum, pertanyaan itu kurang pas untuk ditanyakan kepada saya. Saya diminta menyuruh menilai caption foto yang dibuat teman Chuby benar atau salah. Terus terang saya menjawab soal Benar-Salah (BS) itu pada waktu duduk di kelas 3 Sekolah Dasar (SD) Inpres desa kelahiranku, tahun 1990.

"Kalau disuruh menilai seperti itu bukan kapasitas saya, Ndan. Saya kan nggak punya kewenangan untuk itu karena bukan saksi ahli." Jawaban itu benar nggak sih? Soalnya caption itulah sepertinya salah satu yang dipersoalkan.

Dalam konteks yang berbeda, saya mencontohkan, caption yang tidak pas misalnya foto gambar wajah kapolres tetapi dalam keterangannya ditulis nama bupati. Kapolres bisa saja protes dan media bersangkutan wajib meralatnya. Setelah diralat urusan selesai sampai disitu.

"Seperti halnya jika ada yang salah ketik isian jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan, apakah juga harus dilaporkan dengan pasal pencemaran nama baik?"

Setelah 14 pertanyaan selesai kujawab, saya baca kembali printout sebelum menandatangi berkas pemeriksaan. Setelah beberapa bagian direvisi karena menurut saya tidak sesuai dengan keterangan yang saya sampaikan, baru tanda tangan sakti saya bubuhkan. Maklum setelah tak lagi berkirim surat dengan bapakku, jarang sekali saya membubuhkan tandatangan, kecuali slip gaji setiap bulan. Bagi saya tandatangan kali ini momen istimewa, karena tidak menyangkut diri saya sendiri melainkan masa depan orang lain. (terasa lebay, ya)

Keluar dari pintu ruangan, saya teringat nasehat orangtua dahulu. Bahwa sebisa mungkin untuk menghindari dua hal yakni "lara" lan "perkara". Lara adalah semua yang berurusan dengan penyakit, dokter dan rumah sakit. Caranya, jaga kesehatan sebelum datang penyakit. Adapun "perkara" identik dengan kasus hukum. Tahu aturan dan mentatinya adalah jalan sederhana untuk terbebas darinya. (wallahu a'lam)

*foto http://www.antaraphoto.com


Komentar

Postingan Populer