warta nggondol nyawa

PARA jurnalis di Kota Yogyakarta sungguh luar biasa. Pokoknya layak diapresiasi. Di tengah kesibukan mereka membuat berita, ternyata masih menyempatkan diri untuk berkesenian. Itu terbukti dengan sukses digelarnya pentas ketoprak Warta Nggondhol Nyawa di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sabtu 03 April 2010 malam.

Pemeran dalam pentas ketoprak dalam memeringati Hari Pers Nasional (HPN) itu sebagian besar adalah para wartawan media massa baik cetak maupun elektronik yang bertugas di Yogyakarta. Pementasan itu juga didukung oleh seniman profesional seperti Kelik Pelipur Lara, Marwoto dan Susilo "Den Baguse Ngarso" Nugroho yang merupakan penulis naskahnya.

Selain para seniman profesional sejumlah tokoh juga ikut tampil seperti Hamzah HS (pengusaha), Ari Sujito (Dosen Fisipol UGM), Nuryudi (Kepala RRI Yogya), dan Triwiyono Somaharjo (Kepala TVRI Jogja). Pentas ketoprak wartawan tahun ini merupakan kali kedua. Di tempat yang sama, setahun lalu, saya juga menyaksikan pementasan ketoprak dengan lakon Kabar Mawa Wisa. Saat itu hadir sebagai bintang tamu Rieke "Oneng" Diah Pitaloka.

Lakon Warta Nggondhol Nyawa disutradarai Nano Asmorodono. Lakon ini
berkisah tentang terbunuhnya seorang juru warta di Kadipaten Nusa Rukmi bernama Jaka Palastra. Pembunuhan itu dilakukan atas persekongkolan Demang Durdanta, Lurah Jaya Raga dan Raden
Ayu Wentis Manis. Jaka Palastra dilenyapkan karena tidak mau bekerjasama bahkan menolak amplop yang ditawarkan. Para koruptor dan makelar kasus itu bersekongkol untuk melengserkan Tumenggung Darmasila sosok penegak hukum yang jujur.

Atas politik yang licik, akhirnya, Tumenggung Darmasila dilengserkan. Demang Durdanta menggantikan posisi itu. Kemudian jabatan demang diduduki Jaya Raga yang naik pangkat. Untuk menghilangkan jejak pembunuhan, komplotan ini mengajukan seorang petugas ronda yang menemukan jasad Jaka Palastra yakni Titir dan Gobyok sebagai pelakunya. Mereka berdua dibayar untuk mengaku, merekalah membunuh Jaka Palastra. (Khusus adegan ini mengingatkan saya pada novel Projo dan Brojo karya Arswendo Atmowiloto).

Sementara itu, kabar kematian Jaka Palastra mengusik ketenangan teman seprofesinya. Dimotori juru warta Pracanda dan juru foto Wedhar Sungging, para juru warta bersat
u mengungkap siapa dalang pembunuh Jaka Palastra. Dalam pencarian itulah, mereka tidak hanya menemukan siapa pelaku pembunuhan melainkan juga mengungkap rekayasa pelengseran Tumenggung Darmasila. Sayangnya, sebelum data itu diungkap di media massa, wartawan Pracanda juga ditemukan tewas. Kematian wartawan ini kembali menghiasi halaman media cetak.

Pentas yang dimulai pukul 20.00-22.00 WIB. Lumayan menghibur. Namun bagi penonton yang tidak sempat membaca sinopsisnya sebelum menonton tentu sulit mengetahu detail ceritanya.
Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam yang menyak
sikan pentas itu mengaku salut kepada para wartawan di Yogyakarata. Menurut dia, hal itu mesti ditiru oleh wartawan daerah lain di Indonesia.***

Komentar

  1. Wah ...memang betul kalau kesenian daerah ini diberdayakan pasti akan memudahkan kita mengungkapkan rasa apa saja yang mengganjal perasaan kita ,ya bisa juga sebagai kontrol sosial begitu,karena melalui berkesenian ini lembaga yang menjadi sasaran ,tidak akan merasa dikritik ataupun di gurui,itulah hebatnya hidup berkesenian tapi sayangnya tontonan yang sering kita nikmati seperti stasiun televisi dewasa ini sering tidak bermutu,sangat dangkal sehingga bagi kawula muda yang sedang mencari jati diri sulit mengembangkan diri ,karena jarang bisa menikmati karya -karya yang membuat kita tahu bahwa hidup itu tidak mudah ,semua harus melalui jalan yang penuh onak dan duri,sehinga kelak jika sudah dewasa mereka akan tahu bagaimana sih menjalani kehidupan ini.Sebagai seorang ibu saya sering melihat bahwa adik -adik yang melaksanakan tugas itu kok seenaknya saja ya,padahal kalau ditinjau dari pendidikan mereka itu para sarjana yang seharusnya dapat berbuat lebih banyak lagi dengan berbagai macam kemudahan yang mereka miliki ,harusnya sadar dong bahwa mereka itulah tunas bangsa yang keberadaannya diharapkan menjadi penerus generasi yang sudah waktunya mundur dari kancah kehidupan ini,tapi kenapa justru mereka enggan bercermin pada generasi kita,bahwa jangan dulu menuntut apa yang bisa negara berikan pada mereka,tapi berbuatlah dahulu hai adik-adikku tampilah menjadi individu yang tidak hanya menunutut honor ,dan menuntut ini dan itu padahal anda-anda ini adalah kaum muda yang seharus sudah bisa memikirkan hal yang terbaik bagi negerimu ini,apa mungkin kesalahan kita kaum orang tua ya ,karena terlalu sibuk mencari uang sehingga menjadi orangtua yang tidak mengajarkan bagaimana sih menjadi warga yang mampu berbuat sesuatu demi negaranya ini,ataukah kita harus memaksa anak-anak kita agar senang nonton ketoprak,ludruk,wayang orang agar mereka terasah rasa kepekaannya terhadap lingkungannya,tapi apakah mereka mau

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer