Senthu & Tahun Baru

Perayaan malam tahun baru 2011 di sejumlah kota yang termuat di harian umum Suara Merdeka (Minggu, 2 Januari 2011)
SETIAP pergantian tahun saya selalu ingat sosok Senthu. Padahal kami hanya bertemu sekali, saat wawancara di rumahnya di Kampung Karang Kidul, Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kota Magelang, Kamis 28 Desember 2006. Bahwa dia tak lagi ingat kepada saya itu pasti, karena saya juga sudah lupa-lupa ingat rupa wajahnya. 
***
Saat malam tahun baru Senthu (60) selalu berada di jalanan. Tetapi bukan untuk menyaksikan pesta kembang api. Melainkan untuk menjajakan terompet hasil karyanya. Setiap penghujung tahun tiba, dia selalu gembira. Malam tahun baru adalah berkah bagi perajin terompet seperti dirinya.

Senthu yang asli Wonogiri itu sudah 35 tahun menjadi perajin terompet. Selama itu pula dia menjajakan terompet tanpa pernah absen. Malam tahun baru adalah hari raya baginya. Alasannya, hari biasa pemilik nama asli Tamin itu hanya memproduksi sekitar 25 terompet per hari. Sedangkan mendekati tahun baru dia bisa membuat lebih dari 200 terompet.

Beragam jenis dan model terompet dia buat, mulai model klasik, drum band, plengkung dan sekarang sedang model terompet berbentuk ikan yang disebut terompet Indosiar. Selain dijual sendiri, dengan harga Rp 1.500 sampai Rp 5.000, menjelang tahun baru ini beragam terompet itu dia memasok kepada pedagang musiman yang mencapai 15 orang.

“Pada hari biasa permintaan terompet dan topi kertas paling banyak pas ada acara ulang tahun, selebihnya sepi,” ujar Senthu saat ditemui di kediamannya.

Rejeki memang misteri, bukan sebuah teka-teki silang yang bisa dicari jawabanya melalui kamus pintar. Malam pergantian tahun tak selamanya indah. Kadangkala berkah itu berubah bubrah ketika hujan turun di malam tahun baru. Tidak banyak orang yang keluar rumah. Ujung-ujungnya terompet yang dibuatnya tidak laku-laku.

Nestapa itu kian berat ditanggung, saat ada pedagang nakal yang tidak mau membayar uang terompet yang diambil. Kejadian naas itu pernah dia alami. Seorang pedagang asal Borobudur mangkir membayar. 

Menjadi perajin terompet adalah pilihan hidup yang ia ambil. Kisahnya, saat menjadi kuli bangunan di Jakarta tahun 1971, dia memanfaatkan waktu luang untuk merangkai terompet lalu menjualnya. Maklum Wonogiri daerah asal bapak tiga orang anak itu adalah sentra kerajinan terompet. Karena sering melihat dia pun tak terlalu kesulitan membuatnya.

“Ternyata hasil merangkai terompet sehari hasilnya lebih banyak ketimbang kerja menjadi kuli bangunan selama tiga hari,” tuturnya. Akhirnya dia memutuskan banting setir dari kuli bangunan menjadi penjual terompet di Jakarta.

Baru tahun 1990 Senthu pindah merantau ke Kota Magelang. Di kota itu pun dia masih menekuni pekerjaan sebagai perajin terompet. Bersama mainan anak lainnya, terompet hasil rangkaian tangannya dijual di Pasar Rejowinangun persisnya di depan toko emas Mustika di Jalan Mataram.

Sedangkan menjelang tahun baru, dia konsentrasi untuk membuat terompet. Sedangkan yang berjualan dagangan digantikan oleh istrinya Kasini (49).  Meski dengan penglihatan yang terbatas, demi menopang ekonomi keluarga, perempuan asli Surakarta itu terpaksa berjualan. Mata Kasini nyaris mengalami kebutaan, akibat katarak yang dideritanya
“Sudah berobat ke mana-mana namun tidak sembuh juga. Karena dananya habis ya sekarang berhenti dulu,” ungkap Kasini berusaha tegar.

Selama menjadi perajin terompet, beberapa tahun terakhir merupakan masa tersulit. Jauh lebih buruk jika dibandingkan sebelum reformasi. Dia pun harus berjuang keras untuk membiayai sekolah anak bungsunya yang duduk di bangku SMA. “Jika dulu berpenghasilan Rp 20.000 bisa untuk biaya sekolah anak, sekarang mendapatkan Rp 25.000 tapi hanya cukup beli beras.” 

Di tengah himpitan kesulitan ekonomi, Senthu tidak pernah berputus asa menjalani kehidupannya. Di rumah kontrakan di RT 05 RW 05  di Kampung Karang Kidul dia masih setia merangkai terompet. Di ruang tamu yang dijadikan ruang kerja itu tampak sebuah televisi hitam putih merk Libra. Entah masih hidup atau sudah rusak. Masih di rak yang sama, teronggok radio dua ban merk Nobee. Dua merek yang sama sekali saya tahu made in negara mana.

“Kadang ada juga yang datang ke sini untuk minta diajari membuat terompet,” katanya. Dengan senang hati dia mengajarinya tanpa takut disaingi. Prinsipnya rejeki itu sudah ada yang mengatur.

Saking banyaknya, Senthu bahkan tidak ingat lagi berapa jumlah terompet yang telah dia buat. Apalagi, apapun dan bagaimana pun bentuknya, suara terompet bunyinya nyaris sama. Terkadang dia senang bisa memberi kebahagian bagi orang lain melalui terompet buatannya. Meski begitu tak jarang dia sedih karena, dari tahun ke tahun kehidupannya tak pernah berubah. Kalau sudah begitu, dia merasa suara terompet lebih mirip suara tangisan.

Selamat Tahun Baru 2011.

Komentar

Postingan Populer