Kelenteng Kong Hwie Kiong

Kelenteng Kong Hwie Kiong
BAGI masyarakat keturunan Tionghoa, Kelenteng bukan hanya sekadar dijadikan sebagai tempat sembahyang. Selain fungsi keagamaan, Kelengteng juga mempunyai fungsi sosial. Bangunan khas arsitektur Tiongkok itu ternyata menjadi sebuah penanda adanya eksisistensi warga keturunan Tionghoa.
    "Secara sosial kelenteng juga berfungsi sebagai pemersatu dan mempererat persaudaraan  antara warga Tionghoa," ungkap Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kebumen Handoko Tan.
   

Di Kebumen terdapat Kelenteng yang cukup tua yakni kelenteng Kong Hwie Kiong. Hingga kini kelenteng itu sudah berumur sekitar 113 tahun. Diyakini, bangunan yang berada di tengah kota tersebut didirikan pada tahun 1898 oleh Liem Ke Gwon seorang letnan keturunan Tionghoa.
    Namun seiring berjalannya waktu dan perang  yang melanda negeri, bangunan kelenteng mengalami kerusakan. Ditinggal mengungsi warga keturunan Tionghoa, mengakibatkan  bangunan itu tidak terurus. Bahkan sejumlah bagian runtuh kecuali beberapa tembok yang masih bertahan hingga sekarang.
   
Pada tahun 1969, oleh salah satu tokoh Tionghoa Kebumen, Lie Nyien Fong, kelenteng tersebut dipugar dan masih kokoh berdiri hingga saat ini. Setidaknya tiga umat beragama yakni Budha, Konghucu, dan Taoisme sembahyang di tempat itu sehingga tempat itu biasa disebut sebagai tempat ibadah Tri Dharma.
    "Kelenteng juga menjadi wujud kerukunan antar umat," imbuh Su I Sye sesepuh di kelenteng Kong Hwie Kiong. Ia menyebutkan kendati berbeda kepercayaan namun warga tetap beribadah di tempat yang sama.   
Pintu masuk Kelenteng
  
  Kelenteng Kong Hwie Kiong memiliki sekitar 15 altar. Adapun dewa yang menjadi tuan rumah di keleteng itu adalah Thien Sang Sing Bo atau dewa laut. Sebagaimana warga Tionghoa yang tinggal di daerah pesisir banyak yang memuja dewa itu. Sementara bagi mereka yang ringgal daerah pertanian,  yang mengandalkan dari hasil pertanian, banyak yang memuja dewa umi atau Hok Tek Ceng Sin.
    "Kebumen kan dekat laut dan banyak masyarakat yang mencari makan dari hasil laut," kata Su I Sye.
    Sebagai kaum minoritas, tak dapat dipungkiri banyak hal yang harus dihadapi oleh warga keturunan Tionghoa. Terlebih pada saat era orde baru yang sekian lama berkuasa, begitu ketat dalam membatasi aktivitas warga keturunan Tionghoa. Sejumlah perayaan pun tak dapat bebas seperti saat ini.
    Bersyukur, sekarang semua sudah terbuka. Bahkan perayaan Imlek pun ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai hari libur nasional. Budaya Tionghoa pun sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.***

Kelenteng memiliki fungsi sosial, yakni mempererat persaudaraan warga keturuan Tionghoa yang berbeda agama dan keyakinan.

Komentar

  1. makasih atas pengetahuan nya
    salam kenal ya
    http://hotissueindonesia.blogspot.com

    BalasHapus
  2. salam kenal juga.. makasih sudah mampir ke blog ini. salam berbagi info & pengetahuan

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan Populer