Rindu Serabi Kebumen


Penjual serabi di Jalan Kutoarjo Kebumen
Foto Ondo Supriyanto
"GUE orang Kebumen asli. Cuman sekarang ini lagi di Malaysia. Meskipun di Malaysia tapi masih ingat dengan Kebumen apalagi dengan jajanan Kebumen. Di sini nggak ada soto, bakso, mie ayam, serabi, apalagi sate dan emping khas ambal. Win kangen dengan semua masakan Kebumen."
Demikian tulisan Winarni warga asal Kebumen dalam sebuah situs tentang makanan. Dalam tulisan itu terlihat begitu besarnya kerinduannya terhadap makan khas daerah asalnya.
Ya, saat berada jauh di negeri orang, selain keluarga dan sanak famili, makanan kadang kala menjadi pengikat masyarakat pada tempat asalnya. "Di sini adanya roti canai, nasi lemak, mie tomyam, kuetyaw, muruku India punya," imbuhnya.
Winarni barangkali hanya mewakili kerinduan orang perantauan terhadap kuliner kampung halamannya. Masih banyak orang yang menyimpan kerinduan pada makanan daerah asalnya. Mafhum jika sejumlah makanan khas itu kini tidak dijual luar daerahnya. Barangkali itu untuk memenuhi kerinduan itu.
Boleh jadi saat tinggal di Kebumen Winarni tidak menjadikan makanan khas itu sebagai sesuatu yang istimewa. Kesadaran itu muncul  ketika dia sudah tidak lagi dapat merasakannya. Mungkin rasa kangen itu terobati kalau ada orang Kebumen menjual serabi dan sate ambal di Malaysia.
Dalam kondisi yang demikian, makanan bukan hanya sekadar dipandang sebagai hal yang enak dan tidak enak. Sebab ada romantisme yang membungkus makanan itu sehingga apapun rasanya  menjadi enak. Serabi misalnya, yang hanya dijual pada saat pagi buta tentu saja banyak yang memiliki kenangan dengan makanan itu.
Nurul (27) misalnya, selalu teringat pada saat ia masih sekolah. Setiap hari Minggu ia bersama kakanya lari pagi dan saat pulang selalu tidak  lupa membeli serabi. Saat kuliah dan bekerja di luar kota, saat pulang pun ia selalu menyempatkan membeli serabi.
“Meski tak seenak serabi Solo, saya lebih suka membeli serabi Kebumen," kata warga Pejagoan yang bekerja di Surabaya itu.
Serabi Solo memang  cukup terkenal salah satunya "Serabi Notosuman". Banyak pendatang yang membeli untuk dijadikan oleh-oleh. Rasanya gurih yang khas yang berasal dari santan kelapa. Ada pula yang menjualnya dengan sedikit modifikasi dengan taburan butiran cokelat pada bagian atasnya.
Masih Sederhana
Sementara serabi Kebumen  masih sangat sederhana. Seperti yang dijual Siti Ngakidah (36) di Jalan Kutoarjo persisnya di depan studio  Ratih TV. Warga Kelurahan Panjer itu setiap hari sejak pukul 03.30 sampai 08.30 berjualan serabi. Selama ini dia hanya menjual dua macam yakni serabi gurih dan serabi manis.
"Kalau serabi manis itu dikasih taburan gula jawa," katanya menerangkan.
Dalam sehari biasa dia menghabiskan sebanyak 3,5 kg tepung beras. Namun pada hari Minggu permintaan meningkat sehingga bisa menghabiskan 4-4,5 kg. "Kalau hari minggu banyak yang lari-lari, lalu pulangnya membeli serabi," imbuh Khatimah (60) ibu Idah, panggilan Siti Ngakidah yang membantu berjualan serabi.
Ada lagi penjual serabi yang banyak diminati antara lain serabi Yu Inem yang dijual di perempatan Kuwarisan Panjer dan di sebelah perlintasan kereta api. Pada umumnya penjual serabi berjualan pada pagi subuh sampai setengah tujuh.
Memang di Kebumen, serabi masih dijual dengan sangat sederhana. Padahal jika ada sentuhan lain, baik berupa modivikasi dengan campuran bahan makanan lain, serabi Kebumen  bukan hanya ngangeni orang asli kota itu, melainkan menjadi klangenan siapapun yang pernah merasai.
Tidak mustahil jika serabi Kebumen menjadi aset wisata kuliner melengkapi sejumlah makanan khas yang ada. Boleh jadi saat Winarni atau siapa pun pulang ke Kebumen menjadi bangga, karena makanan khas daerahnya tidak kalah dengan daerah maupun negara lain. Siapa tahu. ***

Komentar

Postingan Populer