Tongseng Pak Mulyorejo, Warung Sederhana dengan Citarasa Istimewa

Pembeli menyantap tongseng Pak Mulyorejo. 
Foto: Ondo Supriyanto
BAGI mereka yang mempunyai makanan favorit berupa tongseng, tentu tidak sulit untuk mendapatkannya. Sebab, hampir pasti di setiap warung sate kambing menjual makanan daging kambing berkuah itu. Namun begitu, tidak mudah mendapati penjual tongseng yang tanpa menggunakan penyedap rasa kimia.

Di Gombong terdapat sebuah warung tongseng yang benar-benar bebas dari Mono Sodium Glutamate (MSG). Warung tongseng Pak Mulyorejo namanya. Warung kaki lima yang berada di Jalan Stasiun Gombong itu, sudah sekitar 58 tahun bertahan menjual menu tersebut tanpa penyedap rasa.

Warung tongseng di sebelah barat Kantor Pegadaian Gombong tersebut memang tidak hanya sederhana. Melihat keadaannya layak jika warung itu dikatakan seadaanya. Tapi jangan salah, soal rasa, jangan ditanya. Nendang banget alias mak nyus, begitu barangkali dalam bahasa Bondan Winarno, sipembawa acara Wisata Kuliner di salah satu stasiun televisi swasta yang terkenal itu.

Racikan rempah-rempah seperti manis jangan, kayu manis, jinten, mesoyi, kapulaga, cengkeh, cabe, mrica, tumbar dan pala menjadikan bumbu sangat kental. Ditambah dengan bawang merah bawang putih, serai, kunir, jahe, kencur, dan garam melengkapi aroma yang menggoda.

Tidak cukup itu, sehingga tongseng Pak Mulyorejo bisa dikategorikan sebagai tongseng yang istimewa. Cara memasak tongseng itu tidak menggunakan kompor melainkan masih bertahan menggunakan arang. Selain itu, tempat memasak daging juga masih menggunakan kuali dari tanah.

"Beda rasanya makanan yang dimasak memakai arang dengan menggunakan minyak," kata Turinem (51) istri sambungan Mulyorejo.

Rasa Yogya

Mencoba mencicipi tongseng non mecin itu, ternyata beda dengan tongseng yang dijual sejumlah warung. Sebab rasa lebih didominasi dengan manis. "Suami saya memang orang Yogya, makanya rasa manis cukup menonjol," katanya Turinem.

Turinem (51) kini menjadi pewaris tongseng Mulyorejo suaminya yang sudah meninggal sejak 28 April lalu pada usia 85 tahun. Warga Desa Jatinegoro Sempor yang tinggal di Gang Wonosari Kelurahan Wonokriyo itu pun bertekat bertahan dengan resep suaminya tanpa menggunakan bahan kimia untuk melezatkan makanannya.

Selain tongseng, makanan yang masih berbahan kambing juga ada di warung yang buka mulai pukul 09.00-21.00 juga menyediakan gule dan sate. Dengan harga sekitar Rp 11.000 per porsi semua makanan bertahan menggunakan rempah-rempah untuk menyedapkan makanan.

Dari kisah Turinem, pada awal berdirinya warung peninggalan suaminya itu terletak di kawasan Stasiun Kereta Api (KA) Gombong. Karena terkena gusuran, sekitar tahun 1993 tongseng dijual secara keliling. Jualan keliling itu bertahan sekitar dua tahun, sampai akhirnya sekitar tahun 1995 menempati pinggir jalan menuju stasiun.

Meski tergolong lama, warung tersebut masih belum memiliki warung permanen. "Pernah mendirikan warung permanen, tapi karena letaknya kurang strategis, tidak bertahan lama," katanya mengaku dalam sehari, rata-rata ia menghabiskan satu ekor kambing.

Pelanggan merupakan orang di Gombong. Ada pula yang berasal Kebumen dan Purwokerto."Selain makan di tempat kami juga melayani pesanan dalam jumlah banyak," katanya promosi. ***

Komentar

Postingan Populer