Irma Suryati, Kartini dari Karangsari

Irma memperlihatkan kasil karyanya.FotoOndo Supriyanto
VIRUS Polio boleh saja melumpuhkan kaki Irma Suryati (36). Namun cacat yang dia derita tidak membuat semangat hidupnya turut lumpuh. Meski saat berjalan harus dibantu kayu penyangga, Irma mampu berprestasi bahkan melebihi orang normal.

Dengan keterbatasan fisiknya, perempuan asal Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen itu telah membuktikan bahwa penyandang cacat pun bisa mandiri. Melalui usaha Mutiara Handycraft yang dirintis bersama suaminya Agus Priyanto (34) yang juga seorang tuna daksa, perempuan kelahiran Semarang, 1 September 1975 itu mengembangkan aneka kerajinan dari limbah.

Melalui kreativitasnya, kain sisa industri garmen dibentuk menjadi aneka produk keset yang unik. Desain keset berbentuk bunga, karakter kartun, bentuk binatang seperti panda, kupu-kupu, dan katak, maupun elips adalah di antara hasil karyanya. Keset-keset itu tidak sekadar dijual di pasar lokal, namun telah dipasarkan untuk konsumen luar negeri. Khusus desain kupu-kupu bahkan untuk memenuhi konsumen dari Autralia yang dijual melalui broker dengan harga tujuh dolar per unit.

"Sendangkan keset biasa, dijual di pasaran dengan harga Rp 3500. Sedangkan desain unik dijual antara Rp 25.000 hingga Rp 35.000," ujar Irma Suryati saat ditemui di rumahnya yang dijadikan sebagai pusat usaha kecil menengah penyandang cacat, belum lama ini.

Sampai saat ini, lulusan SMA Negeri 1 Semarang itu memiliki sedikitnya 600 binaan perajin keset. Selain di Kebumen, mereka tersebar di Kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purworejo. Sebanyak 150 orang di antaranya merupakan para penyandang cacat khususnya tuna daksa, sedangkan sisanya adalah orang normal. Pada awalnya, mereka diajari bagaimana cara membuat keset, kemudian setelah mandiri pihaknya memasok bahan baku.

Mereka bisa bekerja di rumah sendiri, kemudian hasilnya disetor untuk dipasarkan. Bersama dengan para perajin binaannya, Irma mampu produksi sebanyak 15.000 keset per bulan. Produksi ini masih sangat kurang memenuhi permintaan pasar. Sebab, untuk di Pasar Abang Jakarta saja permintaan bisa mencapai 30.000 keset per bulan. Artinya, prospek kerajinan keset dari kain perca masih sangat luas. Mengingat permintaan yang sangat tinggi itu belum sepenuhnya terpenuhi.

"Saya ingin mengajak para penyandang cacat untuk hidup mandiri termasuk secara ekonomi, sehingga mereka bisa setara dengan orang normal," imbuh Irma yang juga memproduksi boneka dari kain limbah.

Irma dan penghargaan. Foto Ondo Supriyanto 
 Raih Penghargaan
 Semangat, kemandirian dan dedikasinya memberdayakan para penyandang cacat itu mengantarkan Irma terpilih menjadi Wirausaha Muda Teladan Tingkat Nasional tahun 2007 yang diberikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Tahun 2009 dia juga terpilih menjadi Pemuda Andalan Nusantara. Irma menjadi juara I Tokoh Sampoerna Pejuang 9 Bintang 2010 untuk kategori ekonomi kerakyatan. Di tahun yang sama ibu lima orang anak itu dianugrahi Ummi Award 2010 Dedikasi Ibu Indonesia.

Di atas perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan kaum difabel itu pantas kiranya Irma dijuluki sebagai Kartini dari Desa Karangsari. Tidak berlebihan pula apabila Bupati Kebumen, H Buyar Winarso SE mengusulkan Irma sebagai calon penerima penghargaan Lingkungan Hidup Nasional Kalpataru tahun 2011 untuk kategori perintis lingkungan. 

Dia dinilai berhasil mengolah limbah garmen menjadi aneka kerajinan tangan yang bernilai ekonomis. Berkat usahanya itu, dia mampu mengurangi pengangguran sekaligus mengurangi limbah sekitar lima ton per bulan. Ya, meski kaki lumpuh, Irma telah terbang keliling sejumlah negara di dunia. Antara lain, dia pernah menjadi duta bangsa dalam lomba wirausaha muda tingkat dunia di Beijing, Cina. Tahun 2008 dia terbang ke Melbourne Autralia mewakili Indonesia dalam pameran kerajinan yang disponsori oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, saat itu dijabat Adhiyaksa Dault.
 

Capaian yang diperoleh Irma tidak datang begitu saja. Perlu kerja keras dan proses panjang. Apalagi, seorang penyandang cacat seperti dirinya masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Misalnya, seperti saat melamar pekerjaan, saat itu pula ia ditolak dengan alasan cacat yang dia alami. "Dari pengalaman itulah, saya bertekat membuat usaha sendiri dan mengangkat lebih tinggi derajat penyandang cacat seperti saya," imbuhnya.

Pasangan difabel. Foto Ondo Supriyanto

Diskriminasi Difabel
Hidup dengan kondisi fisik yang tak sempurna memang cukup berat bagi para penyandan cacat. Apalagi diskriminasi bagi para penyandang cacat masih dirasakan di seluruh sektor baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Berbeda dengan orang normal, di semua sektor tersebut, kepentingan para penyandang cacat selaku kelompok minoritas masih dinomorsekiankan. 


 Irma masih ingat harus menelan pil pahit saat ditolak oleh perusahaan saat melamar kerja, gara-gara dia berjalan menggunakan bantuan kruk. Tidak hanya itu, ketika memulai menjalankan usahanya dia justru diremehkan saat mengajak orang-orang bergabung. Mereka sanksi melihat kaki Irma yang cacat akibat virus polio tersebut. Namun cibiran dan dipandang sebelah mata justru menjadi cambuk untuk pembuktian bahwa orang dengan kebutuhan khusus juga bisa.


"Setelah saya mendapatkan penghargaan, satu per satu orang percaya dengan usaha yang saya jalankan," ujar Irma Suryati menceritakan awal perjalanannya mengelola usaha kerajinan dari limbah garmen.

Dia berkisah, setelah tamat SMAN 1 Semarang, dia tidak melanjutkan kuliah. Tahun 1995 dia memberanikan diri menikah dengan Agus Priyanto yang asli Desa Karangsari, Kebumen. Pasangan tuna daksa itu bertemu saat mereka sama-sama menjalani terapi kaki yang lumpuh layu di Rumah Sakit Orthopedi Solo. Selain mendapatkan terapi, di tempat tersebut mereka juga dilatih membuat kerajinan sesuai minat masing-masing.

"Kami kenal selama dua bulan dan sepakat untuk menikah dan hidup bersama," ungkap Agus Priyanto.

Sebelum menjalankan usaha keset di Kebumen, sebenarnya Irma dan Agus telah memulai usaha di Kota Semarang. Dia menghimpun sesama penyandang cacat yang mengikuti pelatihan di Solo. Saat itu usahanya berkembang hingga mampu merekrut 50 penyandang cacat untuk menjadi perajin keset.

Bahkan pada tahun 2002 usahanya berada di puncak. Omset penjualan hasil kerajinan itu mencapai miliaran rupiah per bulannya. Lewat keset itulah dia mampu membeli rumah dan mobil. Sayang, kebakaran hebat di Pasar Karangjati Semarang tahun 2005 membuat usaha mereka hancur tak tersisa.

"Akibat kabakaran itu, kami merugi sekitar Rp 800 juta. Saat itu kami punya apa-apa lagi," kenang Agus atas tragedi yang mengembalikan keluarganya ke titik nol tersebut.

Hidup Baru Selanjutnya, babak baru kehidupan Irma dilanjutkan di Kebumen, tempat kelahiran suaminya. Dia mencoba bangkit kembali dengan meminta dukungan Bupati Kebumen yang saat itu dijabat Rustriningsih. Gayung bersambut, dengan bantuan bupati yang sekarang menjabat Wakil Gubernur Jawa Tengah itu, dikumpulkan 300 penyandang cacat dan membentuk paguyuban. Irma Suryati terpilih sebagai ketuanya.

"Untuk bertemu bupati juga butuh perjuangan. Saya berkali-kali ditolak oleh pegawai, karena dikira mau meminta sumbangan," kata Irma yang masih memajang poster Rustringsih yang dinilai berjasa bagi hidupnya.

 Seiring waktu, usaha kerajinan berbahan baku kain limbah garmen yang dikelolanya terus berkembang. Tidak hanya memproduksi keset yang omsetnya mencapai Rp 30 juta per bulan, usahanya melebar hingga memproduksi 42 macam kerajinan. Terakhir perempuan yang mengoleksi sekitar 100 penghargaan dari dalam dan luar negeri itu mengembangkan produksi busana muslim.

Irma bahkan telah mendapat order busana muslim dari Jakarta sebanyak 10.000 per bulan. Namun karena keterbatasan tenaga, alat dan modal dia masih belum bisa memenuhi seluruhnya.
 "Hanya sekitar 3.000 potong per bulan yang mampu kami penuhi," imbuhnya.

Irma saat tampil di K!ck Andy Metro TV...Foto:http://kickandy.com 
Melihat pasar yang masih terbuka Irma memperbanyak tenaga kerja. Dia juga memberdayakan ibu-ibu rumah tangga, para waria, pekerja seks komersial (PSK), dan mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Selain pekerjaan sehari, Irma tak jarang keliling Indonesia untuk menjadi instruktur pelatihan bagi penyandang cacat.

 Selain urusan usaha, Irma berusaha menjadi ibu yang baik bagi kelima anaknya. Dia bersyukur, kelima anaknya; Zika Kusuma (13), Hafiz Al Mukni (10), Eksa Mutiara Nabila (5), Nauli Wyadyaksa (2) dan Pandu Yuda (1) tumbuh normal. Bahkan si sulung saat ini duduk di kelas 2 di SMP Negeri 1 Buayan.

Secara ekonomi, barangkali keluarga Irma saat ini tidaklah kekurangan. Saat ini ada satu cita-cita yang masih belum terwujud. "Saya ingin punya pabrik yang seluruh karyawannya para penyandang cacat," katanya seraya tak henti-henti mendorong para kaum difabel agar bisa hidup mandiri.***



Biodata



Nama : Irma Suryati
Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 1 September 1975
Pendidikan : SMAN 1 Semarang
Suami : Agus Priyanto

Anak
1. Zika Kusuma (13 tahun)
2. Hafiz Al-Mukni (10 tahun)
3. Eksamutiara Nabila (5 tahun)
4. Nauli Wyadyaksa, (2 tahun)
5. Pandu Yuda (1 tahun)

 
Penghargaan

Wirausaha Muda Teladan 2007 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga
Pemuda Andalan Nusantara 2009 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga
Perempuan Berprestasi 2008 dari Bupati Kebumen.
Penghargaan dari Jaiki Jepang
Juara I Tokoh Sampoerna Pejuang 9 Bintang 2010
Anugerah Ummi Award 2010 - Dedikasi Ibu Indonesia.
Diusulkan Bupati Kebumen Menerima Kalpataru 2011

Komentar

Postingan Populer