Nelayan Bergelimang Hutang
Perahu nelayan akan mendarat di Pantai Ayah, Kebumen. |
Cuaca yang tak bersahabat memang
menjadi momok bagi para nelayan di pantai selatan. Begitu pengakuan Sarmo (40)
salah satu nelayan di Pantai Pasir saat ditemui Suara Merdeka. Saat itu, Sarmo
bersama temannya Warjono (43) dibantu
oleh dua orang tagog (kuli darat, red)
tengah sibuk membersihkan jaring yang selesai dipakai untuk melaut.
Di saat cuaca buruk, Sarmo memilih
mencari lopster. Selain nilai jualnya tinggi, dia juga tidak perlu menghabiskan
banyak bahan bakar. Sebab untuk mencari lopter jarak tempuh hanya sekitar 300
meter dari garis pantai. Menggunakan perahu 1 gross ton dengan mesin motor
tempel 15 PK sekali jalan dia hanya menghabiskan 3 liter bensin. Padahal untuk
mencari ikan para nelayan bisa mencapai perairan Yogyakarta
dengan menghabiskan 10 liter bensin.
Meski melaut cukup singkat, Sarmo
dan Warjono sedikit beruntung. Sebanyak 16 jaring yang mereka pasang pada hari
sebelumnya mendapatkan banyak lopster. Dari hasil lelang, uang yang mereka terima
sebesar Rp 637.560. Sayangnya, harga
lopster sudah turun kembali setelah Imlek kemarin sempat tinggi. Saat ini, lopster
ukuran 1 ons harganya Rp 220.000/kg,
ukuran 0,5 ons Rp 70.000/kg dan ukuran di bawahnya Rp 55.000/kg.
“Padahal sebelum Imlek lopster
ukuran 1 ons bisa tembus Rp 300.000/kg,” ujar Sarmo seraya menunjukkan
kwitansi pembayarannya.
Kendati cuaca di lautan cukup
ekstrim, sebagian besar nelayan di Pantai Pasir masih banyak yang nekat melaut.
Mereka yang bertaruh nyawa di lautan rata-rata masih memiliki tanggungan banyak
hutang kepada para tengkulak. Terlebih selain
melaut, para nelayan itu tidak memiliki cara
lain untuk menjaga agar dapur tetap ngebul.
Terbelit Hutang
Ya, para nelayan di Pantai Pasir
memang memiliki ketergantungan yang tinggi kepada tengkulak. Hal itu berbeda dengan
nelayan Pantai Menganti di Desa Karangduwur maupun di Pantai Pedalen, Desa Argopeni yang relatif
lebih mandiri. Bahkan dari pengakuan
para nelayan, hutang mereka kepada juragan sangat banyak jumlahnya.
Jika ditotal jumlah pinjaman para
nelayan di Pantai Pasir bisa mencapai miliaran rupiah. Satu nelayan ada yang sampai
memiliki hutang kepada juragan mencapai Rp 40 juta. Padahal di pantai tersebut
terdapat ratusan nelayan yang terlilit hutang. Pinjaman sebesar itu dipakai untuk
membeli perahu, mesin motor tempel, maupun jarring untuk menangkap ikan.
Konsekuensi dari modal yang
diberikan kepada para nelayan, hasil tangkapan ikan yang diperoleh harus dijual
kepada para tengkulak yang memberinya modal itu. Karena merasa berhutang budi, nelayan
pun tak kuasa menolaknya. Celakanya, hasil bertaruh nyawa di tengah samudera itu
dihargai lebih rendah rata-rata 5 % dari
harga pasaran. Jika harga ikan pasaran Rp 100.000/kg para nelayan biasanya
melepas hasil tangkapan itu Rp
80.000/kg.
Sementara itu, karena pendapatan
harian nelayan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan, para nelayan pun kesulitan
untuk melunasi hutang. Ditambah biaya
sekolah anak yang semakin tinggi, tidak sedikit nelayan yang hutang semakin banyak. Saking banyaknya jumlah utang yang mereka
kumpulkan, ada beberapa kasus sampai perahu mereka rusak, hutang kepada juragan
belum bisa terlunasi.
“Kalau pun perahu ini saya jual, sepertinya
tidak cukup untuk melunasi hutang,” Sarmo saat menjawab pertanyaan berapa
hutang yang masih dia tanggung kepada
tengkulak.
Meskipun hidup tetap pas-pasan, dahulu
nelayan di Pantai Pasir tidak memiliki banyak hutang seperti sekarang ini. Namun
setelah bencana tsunami melanda pesisir
pantai selatan tahun 2006, perahu milik nelayan banyak yang rusak. Gempa 6,8 SR
yang mengakibatkan tsunami di sejumlah
tempat seperti di Pantai Pangandaran Jawa Barat, Cilacap dan Kebumen itu
meninggalkan banyak masalah bagi kehidupan nelayan. Khususnya bagi nelayan di
Desa Pasir yang menderita kerusakan paling parah.
Saat itulah, awal nelayan di Pantai
Pasir mulai berhutang untuk modal membeli alat tangkap. Maklum tidak semua
nelayan memperoleh bantuan dari pemerintah. Juga tidak ada lembaga pembiayaan maupun
bank yang mau membiayai pembelian perahu bagi nelayan. Salah satu cara yang
masih bisa ditempuh adalah berhutang kepada juragan untuk membeli perahu dan
perlatan lainnya.
Modal untuk melaut memang tinggi.
Paling tidak butuh 40 juta untuk bisa melaut. Selain perahu, harga mesin motor
tempel harganya sangat tinggi. Mesin
motor tempel 15 PK merek Suzuki harganya mencapai Rp 16 juta. Sedangkan
untuk merek Yamaha harganya mencapai Rp 19 juta.
Sementara bagi nelayan yang tak
berhutang, mereka pun tidak memiliki perahu. Mereka hanya bekerja menjadi buruh
nelayan. Saat melaut dia menggunakan perahu milik juragan dengan sistem bagi
hasil. Hasilnya dibagi dua, 50% untuk tekong atau pemilik perahu setengahnya
lagi dibagi untuk dua orang nelayan.
“Seumpama hasil tangkapan bersih Rp
1 juta, seorang buruh nelayan kebagian Rp 250.000,” kata Warjono, nelayan
lainnya.
Koperasi Nelayan
Begitulah, kemiskinan masih menjadi
bagian tak terpisahkan dari kehidupan nelayan. Tidak terkecuali nelayan di Kabupaten Kebumen. Sejak zaman dahulu
kala realitas kehidupan nelayan memang begitu-begitu saja. Sebaliknya, kehidupan
para juragan berkembang pesat. Mereka menjadi semacam raja kecil di
perkampungan nelayan yang miskin.
Para
nelayan memang tak lagi mengharapkan bantuan siapa-siapa. Belum lagi saat program
pemerintah dirasakan tidak menyentuh kehidupan nelayan kecil yang benar-benar
membutuhkan. Padahal dari kerja keras nelayan itu ikut menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) bagi
Pemkab Kebumen.
Lihat saja, dari data Koperasi Unit
Desa (KUD) Mino Pawurni Kecamatan Ayah, nilai produksi bahari nelayan di Kecamatan
Ayah tahun 2011 lalu mencapai Rp 27.821.765.837. Dari jumlah tersebut jumlah yang
disetor ke kas daerah sebesar 1,85 %
atau sebesar Rp 514.702.667.
Ketua KUD Mino Pawurni Bejo Priyono
mengatakan, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan terus dilakukan oleh
KUD Mino Pawurni. Salah satunya, melalui program dana simpanan nelayan. Bahkan
uang simpanan sebesar Rp 915.070.214 itu telah diserahkan kepada 700 anggota
koperasi yang sebagian besar nelayan.
Di sebutkannya, setiap lelang hasil
tangkapan nelayan, sesuai Peraturan Daerah (Perda) dipotong 5 % dan sesuai
kesepakatan dipotong 3 %. Dari potongan
itu dirinci 1,85 % untuk PAD, 2,5 %
untuk simpanan nelayan dan 1,25 % untuk bakul, 0,40% kegiatan sosial nelayan,
0,30% untuk operasional KUD, 0,20 %
untuk dana kematian. Kemudian 0,05 %
untuk desa setempat, 0,05 untuk DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
dan 0,5 untuk dana paceklik.
"Untuk dana paceklik telah terhimpun
sebesar Rp 116 juta yang akan diserahkan bulan Februari mendatang," imbuh
Bejo Priyono.***
Komentar
Posting Komentar
terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini