Nelayan Bergelimang Hutang

Perahu nelayan akan mendarat di Pantai Ayah, Kebumen. 

 
TERIK matahari mulai menyengat di Pantai Pasir, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Kamis (26/1). Jarum jam baru menunjukkan pukul 08.30, namun sudah ada beberapa nelayan yang mendarat. Gelombang tinggi yang disertai angin kencang memaksa para nelayan pulang lebih cepat.
           Cuaca yang tak bersahabat memang menjadi momok bagi para nelayan di pantai selatan. Begitu pengakuan Sarmo (40) salah satu nelayan di Pantai Pasir saat ditemui Suara Merdeka. Saat itu, Sarmo bersama  temannya Warjono (43) dibantu oleh dua orang tagog (kuli darat, red)  tengah sibuk membersihkan jaring yang selesai dipakai untuk melaut.
            Di saat cuaca buruk, Sarmo memilih mencari lopster. Selain nilai jualnya tinggi, dia juga tidak perlu menghabiskan banyak bahan bakar. Sebab untuk mencari lopter jarak tempuh hanya sekitar 300 meter dari garis pantai. Menggunakan perahu 1 gross ton dengan mesin motor tempel 15 PK sekali jalan dia hanya menghabiskan 3 liter bensin. Padahal untuk mencari ikan para nelayan bisa mencapai perairan Yogyakarta dengan menghabiskan 10 liter bensin.
            Meski melaut cukup singkat, Sarmo dan Warjono sedikit beruntung. Sebanyak 16 jaring yang mereka pasang pada hari sebelumnya mendapatkan banyak lopster. Dari hasil lelang, uang yang mereka terima sebesar Rp 637.560.  Sayangnya, harga lopster sudah turun kembali setelah Imlek kemarin sempat tinggi. Saat ini, lopster ukuran 1 ons harganya Rp 220.000/kg,  ukuran 0,5 ons Rp 70.000/kg dan ukuran di bawahnya Rp 55.000/kg.
            “Padahal sebelum Imlek lopster ukuran 1 ons bisa tembus Rp 300.000/kg,” ujar Sarmo seraya menunjukkan kwitansi  pembayarannya.
            Kendati cuaca di lautan cukup ekstrim, sebagian besar nelayan di Pantai Pasir masih banyak yang nekat melaut. Mereka yang bertaruh nyawa di lautan rata-rata masih memiliki tanggungan banyak hutang kepada para tengkulak.  Terlebih selain melaut, para nelayan  itu tidak memiliki cara lain untuk menjaga agar dapur tetap ngebul.

Terbelit Hutang       
            Ya, para nelayan di Pantai Pasir memang memiliki ketergantungan yang tinggi kepada tengkulak. Hal itu berbeda dengan nelayan Pantai Menganti di Desa Karangduwur maupun  di Pantai Pedalen, Desa Argopeni yang relatif lebih mandiri.  Bahkan dari pengakuan para nelayan, hutang mereka kepada juragan sangat banyak jumlahnya.
            Jika ditotal jumlah pinjaman para nelayan di Pantai Pasir bisa mencapai miliaran rupiah. Satu nelayan ada yang sampai memiliki hutang kepada juragan mencapai Rp 40 juta. Padahal di pantai tersebut terdapat ratusan nelayan yang terlilit hutang. Pinjaman sebesar itu dipakai untuk membeli perahu, mesin motor tempel, maupun jarring untuk menangkap ikan.
            Konsekuensi dari modal yang diberikan kepada para nelayan, hasil tangkapan ikan yang diperoleh harus dijual kepada para tengkulak yang memberinya modal itu. Karena merasa berhutang  budi,  nelayan pun tak kuasa menolaknya. Celakanya, hasil bertaruh nyawa di tengah samudera itu dihargai lebih rendah  rata-rata 5 % dari harga pasaran. Jika harga ikan pasaran Rp 100.000/kg para nelayan biasanya melepas hasil tangkapan itu  Rp 80.000/kg.
            Sementara itu, karena pendapatan harian nelayan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan, para nelayan pun kesulitan untuk melunasi hutang.  Ditambah biaya sekolah anak yang semakin  tinggi,  tidak sedikit nelayan  yang hutang semakin banyak.  Saking banyaknya jumlah utang yang mereka kumpulkan, ada beberapa kasus sampai perahu mereka rusak, hutang kepada juragan belum bisa terlunasi.
            “Kalau pun perahu ini saya jual, sepertinya tidak cukup untuk melunasi hutang,” Sarmo saat menjawab pertanyaan berapa hutang yang masih dia tanggung  kepada tengkulak.
            Meskipun hidup tetap pas-pasan, dahulu nelayan di Pantai Pasir tidak memiliki banyak hutang seperti sekarang ini. Namun setelah bencana tsunami melanda  pesisir pantai selatan tahun 2006, perahu milik nelayan banyak yang rusak. Gempa 6,8 SR  yang mengakibatkan tsunami di sejumlah tempat seperti di Pantai Pangandaran Jawa Barat, Cilacap dan Kebumen itu meninggalkan banyak masalah bagi kehidupan nelayan. Khususnya bagi nelayan di Desa Pasir yang menderita kerusakan paling parah.
            Saat itulah, awal nelayan di Pantai Pasir mulai berhutang untuk modal membeli alat tangkap. Maklum tidak semua nelayan memperoleh bantuan dari pemerintah. Juga tidak ada lembaga pembiayaan maupun bank yang mau membiayai pembelian perahu bagi nelayan. Salah satu cara yang masih bisa ditempuh adalah berhutang kepada juragan untuk membeli perahu dan perlatan lainnya.
            Modal untuk melaut memang tinggi. Paling tidak butuh 40 juta untuk bisa melaut. Selain perahu, harga mesin motor tempel harganya sangat tinggi. Mesin  motor tempel 15 PK merek Suzuki harganya mencapai Rp 16 juta. Sedangkan untuk merek Yamaha harganya mencapai Rp 19 juta.
            Sementara bagi nelayan yang tak berhutang, mereka pun tidak memiliki perahu. Mereka hanya bekerja menjadi buruh nelayan. Saat melaut dia menggunakan perahu milik juragan dengan sistem bagi hasil. Hasilnya dibagi dua, 50% untuk tekong atau pemilik perahu setengahnya lagi dibagi  untuk dua orang nelayan.
            “Seumpama hasil tangkapan bersih Rp 1 juta, seorang buruh nelayan kebagian Rp 250.000,” kata Warjono, nelayan lainnya.

Koperasi Nelayan
            Begitulah, kemiskinan masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan nelayan. Tidak terkecuali  nelayan di Kabupaten Kebumen. Sejak zaman dahulu kala realitas kehidupan nelayan memang begitu-begitu saja. Sebaliknya, kehidupan para juragan berkembang pesat. Mereka menjadi semacam raja kecil di perkampungan nelayan yang miskin.
            Para nelayan memang tak lagi mengharapkan bantuan siapa-siapa. Belum lagi saat program pemerintah dirasakan tidak menyentuh kehidupan nelayan kecil yang benar-benar membutuhkan. Padahal dari kerja keras nelayan itu  ikut menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemkab Kebumen.
            Lihat saja, dari data Koperasi Unit Desa (KUD) Mino Pawurni Kecamatan Ayah, nilai produksi bahari nelayan di Kecamatan Ayah tahun 2011 lalu mencapai Rp 27.821.765.837. Dari jumlah tersebut jumlah yang disetor ke kas daerah sebesar 1,85 %  atau sebesar  Rp 514.702.667.
            Ketua KUD Mino Pawurni Bejo Priyono mengatakan, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan terus dilakukan oleh KUD Mino Pawurni. Salah satunya, melalui program dana simpanan nelayan. Bahkan uang simpanan sebesar Rp 915.070.214 itu telah diserahkan kepada 700 anggota koperasi yang sebagian besar nelayan.
            Di sebutkannya, setiap lelang hasil tangkapan nelayan, sesuai Peraturan Daerah (Perda) dipotong 5 % dan sesuai kesepakatan dipotong 3 %.  Dari potongan itu dirinci 1,85 % untuk PAD,  2,5 % untuk simpanan nelayan dan 1,25 % untuk bakul, 0,40% kegiatan sosial nelayan, 0,30% untuk operasional KUD,  0,20 % untuk dana kematian.  Kemudian 0,05 % untuk desa setempat, 0,05 untuk DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan 0,5 untuk dana paceklik.
            "Untuk dana paceklik telah terhimpun sebesar Rp 116 juta yang akan diserahkan bulan Februari mendatang," imbuh Bejo Priyono.***

Komentar

Postingan Populer