Pengakuan Bekas Gembong Narkoba (1) Bertaubat, Memilih Tinggal di Tengah Hutan


Hadi Suprojo mencangkul tanah di dekat rumahnya.

JIKA tak melihatnya sendiri, sulit percaya masih ada manusia yang  tinggal di tengah hutan. Sejak 1,5 tahun lalu Hadi Suprojo (39) bersama keluarganya memilih tinggal di tengah hutan Blawong, masuk wilayah  Desa Sawangan, Kecamatan Alian, Kebumen, Jawa Tengah.
 Bersama Sarmidah (63) ibunya,  Siti Romidah (29) istrinya  dan tujuh orang anaknya, Hadi Suprojo sehari-hari tinggal di gubuk ukuran 3x4 meter. Rumah panggung itu sebagian berdinding papan kayu dan seng.  Sedangkan atapnya dibangun menggunakan asbes. Di dalamnya hanya terdapat dua lembar busa yang dijadikan alas tidur dan rak kayu untuk menempatkan pakaian bersih.
Di belakang rumah panggung terdapat gubuk yang difungsikan untuk memasak.  Di rumah itu tidak ada satu pun peralatan  elektronik termasuk jam dinding sekalipun . Pada malam hari, mereka hidup dalam gelap karena alat penerangan lampu minyak pun tidak tersedia. 
"Ketimbang beli minyak lebih baik untuk membeli beras. Kalau ingin lebih terang bikin perapian saja," ujar Hadi Suprojo saat ditemui di sela-sela kesibukannya bercocok tanam, Rabu (7/5/2014).
Ya, untuk mencapai rumah itu diperlukan waktu sekitar satu jam dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 4 km dari perkampungan terdekat. Jalur mencapai lokasi pun harus melalui hutan jati dengan jalan yang terjal. Tanpa penunjuk jalan, mustahil bisa menemukan rumah tersebut.
Menurut Hadi, keluarganya sehari-hari makan seadanya. Jika masih ada beras, mereka memasak nasi. Tetapi kalau pun makan singkong, anak istrinya tidak protes. Sedangkan kebutuhan air diperoleh dari mata air yang tidak jauh dari rumahnya.
"Mereka sehat-sehat saja. Kalau sakit pun hanya demam biasa," ujarnya enteng.

Menjual Kayu
Hadi sebenarnya memiliki delapan orang anak dari hasil perkawinan dengan istrinya Siti Romidah (29). Akan tetapi anak pertama yang berumur 10 tahun diakuinya saat ini ikut bersama kakaknya. Jadi anak yang tinggal di hutan bersamanya sejumlah tujuh orang. Anak bungsunya ialah bayi berumur 11 bulan yang lahir saat keluarganya sudah tinggal di hutan. 
"Saat periksa ke desa, kebetulan bayi sudah akan lahir," imbuhnya.
Sehari-hari laki-laki kurus berambut panjang itu bertani di lahan seluas 6.600 meter yang dibelinya dari warga setempat. Aneka tanaman dibudidayakan seperti cengkih, singkong, pisang, jahe, cabe dan tanaman lain. Secara rutin Hadi turun ke desa setiap Jumat. Selain untuk menunaikan salat Jumat, dia juga membawa kayu bakar. Satu ikat kayu bakar dibayar warga Rp 10.000. Kemudian uang itu digunakan untuk membeli beras. 
Sebenarnya Hadi memiliki ponsel, namun barang tersebut hanya hidup saat hari Jumat saja, karena menemui listrik seminggu sekali. "Kalau hari biasa ya mati, karena tidak ada setrumnya," kelakarnya.
Keputusan tinggal di hutan boleh jadi langkah paling ekstrim dilakukan mantan  gembong Narkoba yang masuk dalam sindikat internasional itu. Berhasil lepas dari dunia hitam yang menjeratnya, Hadi menjadi santri di Pondok Pesantren Al Daldiri Kuwarasan, Kebumen. Sebelum memilih jalan sufi dengan uzlah atau menyepi, dia tinggal di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasan.
"Saya awalnya berdagang, tetapi merasa masih banyak melakukan kebohongan. Akhirnya mantap tinggal di hutan," imbuhnya seraya mengaku ingin hidup dengan rejeki yang halal dan menjaga kealamian pergaulan anak.
Sampai saat ini, Hadi belum berniat menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anaknya dididik membaca dan menulis dan ilmu agama oleh istrinya. "Kalau memang ada sekolah yang benar-benar menerapkan syariat Islam mungkin akan saya sekolahkan, itu pun kalau mampu membiayai," ujarnya. ***

Komentar

Postingan Populer