Guru Temanku

SEORANG teman yang menjadi guru SMP swasta di Sleman DIY mengeluh kepada saya tentang sepeda motornya yang sering ngadat. Terkadang sepeda motor yang ia beli sejak setahun lalu, itu mogok di tengah perjalanan pulang mengajar. Tidak jarang pula vespa tua kesayangannya itu sudah macet ketika ia baru sekitar 100 meter meninggalkan rumah kontrakannya.

Bukan kali pertama, teman saya itu berkeluh kesah. Sudah sejak dua bulan lalu, ia berencana akan menjual sepeda motornya dan menggantinya dengan yang baru, dengan sistem kredit tentunya. Namun rencana itu gagal setelah tabungan yang sedianya dialokasikan untuk menambah uang muka habis buat biaya anaknya yang sakit mendadak.

Sebagai teman yang masih melajang, hampir setiap kesempatan teman saya itu selalu bercerita tentang kepahitan yang menimpanya. Mulai dari belitan hutang, kontrakan yang belum lunas, sampai anaknya yang sering rewel ia ceritakan kepada saya.

Anehnya, meskipun sebagai seorang pendidik, jarang sekali ia menceritakan bagaimana kondisi sekolahnya, para siswa, guru-guru, termasuk mata pelajaran yang diampunya. Bisa dikatakan, ia tidak pernah menyinggung terhadap kebijakan baru di dunia pendidikan dalam setiap perbincangan.

Termasuk saat hangat-hangatnya kemunculan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai pengganti Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang banyak diperbincangkan, teman saya itu hanya menaggapi dingin dan sangat sederhana. Ia lebih memilih omongan soal bagaimana memperbaiki sepeda motornya yang sering macet dan masalah kehidupan lainnya. Apalagi ia akan sangat senang apabila diajak berdiskusi soal model sepeda motor keluaran terbaru dengan uang muka terjangkau.

Barangkali teman yang saya ceritakan di atas, tidaklah sendirian. Saya yakin masih banyak lagi guru-guru yang lebih tertarik membicarakan masalah ekonomi keluarga ketimbang mata pelajaran ekonomi di kelasnya. “Kondisi ekonomi keluarga lebih penting untuk diselamatkan daripada pelajaran ekonomi,” begitu jawannya yang saya peroleh saat pertanyaan lontarkan kepadanya.

Mendengar jawaban itu, mungkin akan terkesan bahwa guru semacam itu bukanlah guru yang baik. Ekstrimnya sudah selayaknya jika guru semacam itu diberhentikan saja. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Karena pertanyaan yang akan muncul selanjutnya adalah, apakah jika sebagian besar guru di Indonesia memilih bersikap pragmatis semuanya itu lebih baik diberhentikan saja. Juga apakah para penggantinya akan lebih baik atau bahkan sama saja?

Memang secara konseptual, perubahan kurikulum merupakan upaya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Namun jika kemudian secara faktual pelaksanaannya terjadi kekurangan di sana-sini, itu disebabkan karena konsep yang ada tidaklah dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh para praktisinya, yaitu guru.

Pantas saja jika sejumlah pihak memasang sikap psimistik ketika menghadapi perubahan kurikulum baru ini. Prof Djohar MS adalah salah satunya. Dalam sebuah diskusi pendidikan belum lama ini, pakar pendidikan yang kini menjadi rektor Universitas Sarjana Wiyata (UST) Yogyakarta berani memprediksikan bahwa penetapan KTSP akan mengalami kegagalan. Karena penerapan kurikulum baru ini tidak dimbangi dengan persiapan yang matang oleh sekolah. Padahal tanpa diimbangi dengan sosialisasi, pemahaman dan pelaksanaan, pemahaman yang diyakini para guru hanya setengah-setengah.

Bahkan Johar menilai, kurikulum terbitan pemerintah yang selalu berganti-ganti adalah “omong kosong”. Sebab secara kenyataan di lapangan tidak ada pengaruhnya terhadap metode pembelajaran yang diterapkan sekolah . Malah kurikulum yang berganti-ganti menunjukkan bahwa pendidikan justru tidak memiliki tujuan yang jelas.

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Jika merunut pengalaman yang ada, perubahan kurikulum, sering menjadi sebuah rutinitas formal dari tahun ke tahun. Konsep kurikulum hanya menjadi sebuah dokumen tanpa makna. Secara singkat dapat dikatakan, apapun kurikulum yang diterapkan yang terpenting adalah pada gurunya. Sehebat apapun kurikulum yang berlaku jika para guru tidak mengaplikasikan secara benar di dalam kelas maka akan percuma saja.

Sulit memang mengurai benang kusut di dalam pendidikan kita. Sulit menemukan ujung pangkal dan pokok persoalan. Apakah berasal dari kesalahan pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sekolah dalam hal ini guru sebagai pelaksana, system yang ada atau malah anak didik yang menjadi faktor utama tidak berhasilnya kurikulum yang dilaksanakan.

Barangkali teman guru yang saya ceritakan di atas dapat dijadikan sebagai salah satu sample. Mengapa ia lebih senang berbicara masalah ekonomi keluarga daripada pelajaran ekonomi. Tentu saja pada akhirnya teori piramida kebutuhan berlaku. Dimana kebutuhan mendesak yang harus ia penuhi adalah pemenuhan ekonomi. Jika tidak, memikirkan kebutuhan ekonomi keluarga yang di depan mata saja sudah pusing rasanya tidak jika harus ditambah lagi dengan kurikulum baru.
Sudah menjadi rahasia umum, tidak hanya siswa yang ingin cepat pulang. Teman saya itu juga mengaku sering kepingin cepat pulang ketika berada di sekolahan. Alasannya ia ingin cepat menyelesaikan garapan. Maklum saja, teman saya itu mempunyai usaha sambilan membuka rental komputer di rumahnya.

Apakah sikap itu bisa disalahkan? Menurut saya tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Sebagai seorang guru barangkali ia bisa dikatakan sebagai orang tidak bertanggungjawab dengan provesinya. Namun di sisi lain sebagai kepala keluarga ia adalah orang tua yang bertanggung jawab.

Masalahnya, apakah pemerintah di dalam mengeluarkan setiap kebijakan sudah sampai menyentuh hal-hal yang demikian. Mungkin bagi guru yang berstatus PNS mereka masih sempat berpikir soal kurikulum baru seperti KTSP. Namun meskipun saya belum melakukan survey tapi saya yakin banyak di antara para guru yang membaca Peraturan Pemerintah (PP) 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Jika PP saja belum dibaca, bagaimana mungkin para guru itu sempat memahami Peraturan Menteri (Permen) 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permen 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan dan Permen 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permen 22 dan 23 tahun 2006.

Saya berani berkata demikian karena mendasarkan mengakuan seorang pengawas SMP/SMA di Kabupaten Kendal, Drs Utomo MPd di depan ratusan guru di Kota Magelang. Ia pernah melakukan penelitian sengan sampel 80 orang guru, hasilnya sebagian besar guru tidak bisa menjawab tujuan pendidikan baik secara nasional, institusional maupun secara kurikuler.

Sebenarnya saya hanya ingin mengatakan, terlepas apa yang menjadi latar belakangnya banyak yang mempunyai kondisi seperti teman saya. Desakan ekonomi membuat guru tidak sempat berpikir tentang ideal sebuah pendidikan. Boleh jadi para guru yang berstatus PNS masih bisa mengejar ketinggalan karena kondisi ekonomi yang lebih baik. Tetapi bagaimana nasib guru swasta apalagi yang berada di daerah pinggiran yang sisa waktu mengajarnya dipakai untuk menjadi tukang ojek maupun pedagang kaki lima.

Benarlah adanya bahwa selama ini konsep yang diberikan pemerintah tidak sepenuhnya dipahami oleh para guru apalagi dilaksanakan. Celakanya dengan dalih sosialisasi kurikulum baru, pemerintah daerah dalam hal ini dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/kota memanfaatkannya untuk sekadar mencari proyek dadakan dengan menggelar pelatihan, workshop dan seminar untuk para guru.

Untuk mendukung pelaksanaan sebuah kurikulum baru di daerah diperlukan komitmen berbagai stakeholder. Setidaknya tiga elemen yaitu pemerintah daerah, sekolah dan masyarkat perlu benar-benar serius. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan jangan menyalahgunakan otoritas yang dimiliki. Adapun sekolah selaku pelaksana kebijakan haruslah memahamkan elemennya tentang visi misi lembaganya. Sedangkan masyarakat melalui komite sekolah ikut memantau kegiatan sekolah, termasuk memberikan kritik konstruktif.

Jika setiap elemen melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing tentu cita-cita pendidikan semakin dekat. Namun sulit mencapai idealitas di atas jika seluruh elemen itu masih sibuk memikirkan ekonomi keluarga. Seperti pengakuan teman saya yang tidak bisa serius mengajar karena sebelum sampai sekolah ia sudah loyo lebih terlebih dahulu. Hal itu karena dia harus menuntun vespanya yang mogok sekitar satu kilometer di atas jalan menanjak.

Kalo ingat begitu, takut aku jadi seorang guru...

Komentar

Postingan Populer