Gerabah Gebangsari

Bagian I

KUSMINI (52) menyeka keringat di dahi dengan tangan kirinya. Sementara matanya fokus dan tangan kanannya yang masih mengolah tanah liat pada alat putaran di hadapannya. Setelah bentuk yang diinginkan selesai, perempuan paruh baya itu lalu menjemurnya di halaman rumah bersama buah tangannya yang lain.


Begitu setiap hari Kusmini melakukan pekerjaannya di serambi rumahnya di Desa Gebangsari, Kecamatan Klirong, Kebumen. Perempuan yang tinggal di RT 3 RW 1 Dusun Krajan itu merupakan salah satu dari perajin gerabah yang terdapat di desa itu. Puluhan ibu rumah tangga lainnya juga sama, memproduksi kerajinan gerabah di rumah mereka masing-masing.

Keberadaan kerajinan gerabah di desa yang kini dipimpin Kades Parluji itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Keahlian membuat kerajinan dari tanah liat itu mereka peroleh secara turun temurun. Karena orang tua mereka menjadi perajin gerabah, secara otomatis sejak kecil mereka sudah bersinggungan dengan kerajinan tersebut.

Kusmini misalnya, sejak umur belasan tahun ia sudah dikenalkan membuat gerabah. Sepulang sekolah ia membantu orang tuanya membuat gerabah dari tanah liat. Terhitung sejak kelas enam ia sudah secara total membuat gerabah.

"Awalnya cuma melihat, mencoba lama-lama menjadi sudah biasa," katanya saat ditemui Suara Merdeka di rumahnya, kemarin.


Sampai memiliki rumah tangga sendiri, kehidupan istri Darwito (60) tidak jauh dari membuat gerabah. Ia pun bertekad melanjutkan usaha turun temurun itu agar tidak punah. Hingga memiliki empat orang anak dan seorang cucu, perempuan itu masih cekatan mengolah tanah liat membantuknya menjadi berbagai gerabah.


"Sudah turun temurun, Mas. Tapi tidak tahu siapa yang pertamaka kali mengembangkan," ujarnya saat ditemui Suara Merdeka, kemarin.


Di rumahnya itu, Kusmini dibantu anaknya Winda (24) dalam membuat berbagai macam bentuk gerabah. Selepas lulus SMA dan menikah, anak perempuannya itu juga turut membantu membuat gerabah seperti tungku, padasan, blengker, pot bunga, jambangan, kendil, cowek, jubek dan aneka gerabah yang terbuat dari tanah lait.


Setelah terkumpul banyak, gerabah yang sudah dikeringkan itu kemudian dibakar menggunakan kayu. Dalam seminggu pembakaran bisa dilakukan sekali atau dua kali. Itu tergantung dengan jumlah gerabah yang diproduksi. Jika cuaca panas, bisa dimungkinkan dalam seminggu melakukan pembakaran dua kali. Namun saat cuaca mendung, apalagi hujan seminggu hanya bisa membakar sekali saja.

"Jika dirata-rata seorang bisa memproduksi 20 gerabah per hari," imbuhnya.

Selama ini, hasil gerabah yang sudah jadi masih dipasarkan di wilayah Kebumen dan sekitarnya. Biasanya ada pengepul yang membeli gerabah dari perajin untuk dijual kembali di sejumlah daerah. Berapa pun jumlah gerabah yang produksi bisa dipastikan semuanya terserap pasar.


Namun demikian, tingkat kesejahteraan para perajin jauh dari harapan. Sebab, selama ini pendapatan yang mereka dapatkan tergolong kecil. "Sebulan ya paling hanya bisa dapat Rp 300.000," imbuhnya mengaku tidak membuat gerabah saja tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga.


Lihat saja, betapa murahnya harga gerabah di tingkat perajin. Rata-rata satu gerabah harganya berkisar antara Rp 500- Rp 3.000/buah. Gerabah cobek dari tanah liat hanya dijual Rp 500, kendil dan blengker masing-masing Rp 750, padasaan Rp 3.000, pot bunga Rp 1.000, genuk Rp 3.000.

"Itu saja sudah naik, dulu lebih murah lagi," katanya.

Pada umumnya warga yang masih aktif membuat kerajinan adalah para ibu rumah tangga. Sutirem (60), Saini (55), dan Karsinah (23) adalah beberapa perempuan yang juga memproduksi gerabah. Sementara tugas utama laki-laki hanya mengambil tanah yang dijadikan bahan baku. Selebihnya mereka lebih memfokuskan diri menggarap sawah.


"Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama," kata sejumlah perajin mengeluhkan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin tak terjangkau.


Bagian II

SEBUAH gapura dengan hiasan bermotif kerajinan gerabah menyambut setiap kali seorang memasuki wilayah Desa Gebangsari Kecamatan Klirong, Kebumen. Kendati tidak terlalu mencolok, namun gapura tersebut cukup menjadi penanda bahwa kerajinan gerabah menjadi ikon desa tersebut.

Memang kerajinan gerabah di Desa Gebangsari belum bisa disejajarkan dengan sentra kerajinan gerabah di desa wisata Kasongan di Kabupaten Bantul DIY. Itu karena penggarapan yang ada di Desa Gebangsari masih sangat sederhana. Bahkan bisa dikatakan secara turun temurun kerajinan gerabah dari tanah liat tersebut belum mendapatkan sentuhan inovasi yang berarti.


Maklum jika kemudian, produk yang dihasilkan tidak mampu bernilai jual tinggi. Sebab gerabah yang dihasilkan hanya untuk keperluan dapur dan jauh dari tujuan karya seni. Sejumlah perajin yang ditemui Suara Merdeka pun masih berpikir sederhana. Mereka sudah puas membuat berbagai gerabah untuk keperluan dapur seperti tungku, padasan, genuk, dengan harga berkisar dari Rp 500 - Rp 5000.


Hasil produksi mereka pun hanya sebatas diambil para pedagang keliling yang selanjutnya dijual ke pasar Gombong, Karanganyar atau Pasar Tumenggungan Kebumen. Alih-alih bercita-cita akan menjual ke luar negeri, bisa bertahan memproduksi saja mereka sudah bersyukur.

"Dari dulu sampai sekarang ya begini saja, Mas" ujar Sukimin (45) salah satu perajin.

Dengan sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai, sulit bagi Sukimin dan puluhan perajin gerabah di desa itu untuk berpikir memajukan kerajinan yang telah ada secara turun temurun tersebut. Untuk itu, menjadi kewajiban dari pemerintah daerah terutama dinas terkait untuk memberikan perhatian.

"Kepenginnya ya bisa menjual dengan harga tinggi. Tapi bagimana caranya kami tidak tahu," imbuhnya.

Dikatakanya, selama ini ia bersama perajin lainnya belum pernah mencoba membuat gerabah dengan bahan baku lain seperti keramik dan sebagainya. Sebab, bertahun-tahun yang ia buat hanyalah gerabah dari tanah liat yang diambil dari Petahanan dan dicampur dengan pasir selatan. Inovasi yang dilakukan hanyalah membuat efek warna merah, pada sentuhan terakhir. Yakni dengan memberi pewarnaan dari tanah merah yang dambil dari wilayah pegunungan.

"Hasilnya jminim sekali jika dibanding dengan tenaga yang dibuang," tukasnya.

Belum lagi, kenaikan harga kayu bakar membuat perajin mengeluh. Keuntungan yang didapat berkurang gara-gara habis untuk membeli kayu bakar. Apalagi saat cuaca tidak menentu, banyak gerabah rusak. Hujan yang turun secara tiba-tiba menyulitkan perajin memindahkan produknya ke tempat yang teduh.


Para perajin berharap, Pemkab Kebumen memberi pembinaan secara intensif kepada para perajin gerabah utamanya yang masih muda. Dengan adanya pembinaan, diharapkan mereka mampu memproduksi gerabah yang bernilai seni tinggi. Ujungnya nilai produksi gerabah juga akan naik dan kesejahteraan perajin meningkat.


Tidak mustahil jika Desa Gebangsari akan menjadi semacam "Kasogan' yang dimiliki Kebumen yang bisa mengekspor kerajian gerabah yang bernilai jual tinggi. Desa Gebangsari juga bisa mendukung pariwisata, mengingat lokasinya tidak terlalu jauh dari pantai Petanahan.


Tentu hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan Kepala Disperindagkop Dirman Supardi SH. Pola integrasi antara sektor pariwisata dan kerajinan akan diterapkan guana mengembangkan sentra kerajinan di Kebumen. Dengan diterapkan sistem tersebut, kedua sektor itu akan saling mendukung satu sama lain.

Komentar

Postingan Populer