Peristiwa Kanonade (3-habis)

SERANGAN Belanda ke Desa Candi Kecamatan Karanganyar, Kebumen pada 19 Oktober 1947 sudah menjadi sejarah. Perisitiwa yang dikenal dengan sebutan Kanonade atau Kanon Candi yang menelan korban 786 rakyat tak berdosa itu menegaskan bahwa betapa kemerdekaan bangsa ini ditebus dengan darah dan air mata leluhur kita.

Banyak korban berguguran baik dari para pejuang kemerdekaan maupun rakyat jelata. Setengah abad lebih berlalu dari peristiwa itu. Para selaku sejarah sudah banyak yang meninggal. Tinggal beberapa orang saja yang masih hidup. Itu pun sudah berusia lanjut. Kalau tidak generasi sekarang, siapa lagi yang menghargai pengorbanan mereka. Ironisnya, tidak banyak generasi sekarang yang tahu sejarah perjuangan itu.

Ya, dalam pelajaran sejarah di sekolah, perjuangan rakyat Kebumen melawan penjajah memang tidak begitu dikenal. Padahal perlawanan mereka begitu heroik.
Para guru tampaknya perlu menyisipkan perjuangan lokal para pejuang untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Bahwa orang tua mereka juga ikut memperjuangkan negeri ini.

"Hanya ada mahasiswa yang melakukan penelitian tentang sejarah penyerangan Belanda ke Desa Candi termasuk Desa Plarangan," ujar Tugiyo Hadi Subroto (78) veteran yang juga mantan Kepala Desa Candi periode 1965-1989.

Untuk mengenang korban peristiwa Kanon Candi pada tahun 1950 di kawasan pasar Candi didirikan sebuah monumen Kanonade. Minumen pertama yang dibuat oleh Tentara Pelajar (TP) itu kemudian diperbarui tahun 1985. Adapun monumen yang asli dipindahkan di balai Desa Candi. Namun tanpa pengetahuan, monumen saja tidak cukup untuk menumbuhkan rasa nasionalisme generasi muda.

"Di monumen itu dulu sering digunakan untuk malam renungan oleh Sekolah Calon Tamtama (Secata) Gombong," katanya.

Pria yang pernah bertugas di Front Semarang itu menceritakan penyerangan Belanda ke Desa Candi bisa dikatakan penyerangan yang cukup besar di Jawa Tengah pada masa Kles I. Karena di daerah lain, meski ada serangan namun jumlah korban tidak seban
yak seperti di Desa Candi yang mencapai hampir 1000 orang.

Veteran yang usai masa perang bergabung sebagai anggota TNI dan bertugas di Dinas Teknik Tentara (DTT) Semarang sampai 1965 itu menceritakan bagaimana perjuangan rakyat Kebumen melawan Belanda. Pada Kles I Gombong diduduki Belanda. Belanda juga melebarkan kekuasaanya dan tentu saja para pejuang melakukan perkawanan.

Untuk membendung Serangan Belanda pejuang membentuk pertahanan di Kemit. Di Sektor Kemit pertahanan dibagi menjadi tiga yakni di bagian selatan bermarkas di Puring yakni di Desa Sidobunder. Di bagian tengah pertahanan di Karanganyar yang diabadikan dengan Monumen Kemit. Sedangkan di wilayah utara berada Karanggayam.

Guna memperingati terjadinya pertempuran sengit antara Tentara Pelajar (TP) saat terjadinya Kles II di Desa Sidobunder terdapat monumen perjuangan. Sekitar 23 TP yang gugur di desa tersebut dan juga dari masyarakat sekitar. Banyaknya korban jatuh karena kebanyakan tentara pelajar tersebut kurang memahami peta wilayah.

"Desa Sidobunder merupakan basis pertahanan dari serangan musuh Belanda yang bermarkas di Gombong," katanya.

Dalam literatur diterangkan, pada 19 Agustus 1947 pasukan Belanda masuk ke Karanggayam melalui Randakeli. Terjadi kontak senjata antara Belanda dengan pasukan yang dipimpin Letnan Yatiman. Pada pertempuran ini Belanda kecele karena akhirnya saling tembak antara pasukan Belanda yang datang lebih awal dengan yang datang belakangan. Mereka mengira di tengah mereka masih ada pasukan Letnan Yatiman.

Dalam peristiwa itu dari pihak tentara Indonesia terdapat 23 orang yang gugur. Di antara 23 pasukan yang gugur ada seorang yang berasal dari Jepang, yang bernama Usman/kuper. Pertempuran di Karanggayam itu diabadikan dengan Monumen Purangga.

Karena terus terjadi gencatan senjata di Karanggayam, Wonoharjo, Kenteng, Sidobunder, dan Kemit, lalu diadakan gencatan senjata yang kemudian menimbulkan sebuah garis perbatasan kekuasaan yang dinamakan Status Quo.

Pada tanggal 19 Desember 1948 dimulai pukul 05.00 pagi, hari minggu Belanda kembali melakukan gencatan senjata. TNI mengetahui rencana penyerangan Belanda dari intel-intel TNI yang ada di daerah pendudukan khususnya gombong. Ternyata Belanda akan menyerang melalui timur menuju Yogyakarta. TNI yang semula berpusat di Yogyakarta menjadi terpecah. Adapun sistem perang yang digunakan adalah sistem perang gerilya yang diinstruksikan oleh Jenderal Sudirman.

"Saat Belanda akan lewat, kami melubangi jalan-jalan dengan alat tradisional. Tapi tenyata Belanda dengan mudah meratakan kembali dengan alat berat," kenangnya.

Secara logika, kata dia, sulit melawan Belanda. Dimana rentara RI hanya menggunakan senapan bekas Jepang, dan senjata seadanya. Sedangkan Belanda lengkap dengan panser yang dilengkapi senjata Kanon. Namun pada waktu itu muncul kepercayaan bahwa perjuangan Rakyat dibantu oleh ratu laut selatan.

"Makanya kami mengggunakan janur kuning untuk membedakan tentara Indonesia dengan Belanda," tuturnya.

Pada bagian lain, bagi pejuang di Gombong, kenangan yang indah adalah ketika terjadi serangan Jum’at Kliwon bulan Februari 1949. TNI melawan Belanda di daerah Kebumen dari perang yang kecil sampai perang yang besar. Pihak TNI berhasil merampas senjata Belanda.

"Pada akhir Desember 1949 Belanda meninggalkan Kebumen. Pasukan belanda yang ada di Gombong melakukan serah terima wilayah dengan TNI di simpang tiga antara Jalan Yos Sudarso dengan Jalan Sempor Lama," kata veteran yang tak pernah memperoleh uang pensiun ini.***

Komentar

  1. memang... benar... seharusnya berita tentang perjuangan dipublikasikan... karena banyak yang tidak tersentuh sejarah

    BalasHapus
  2. bangga menjadi salah satu warga desa candi...

    BalasHapus
  3. Saya lahir di daerah Gombong tetapi baru tahu kali ini kalau di daerah Kebumen sekitarnya pernah terjadi peperangan, seharusnya ada pemelajaran sejarah lokal yang mengangkat cerita kepahlawanan putra Kebumen. Sewaktu SD saya sangat tertarik dengan film janur kuning karena berlatar cerita perang melawan Belanda ternyata peperangan terjadi di wilayah yang tidak jauh dari tempat kelahiran saya. Pemerintah Kebumen melalui dinas pendidikan seharusnya menggaungkan semangat kepahlawanan kepada generasi muda lokal dengan memasukan cerita sejarah kepahlawanan di sekolah terutama sekolah dasar Sehingga tidak ada cerita sejarah yang hilang. Terima Kasih pahlawanku jasamu akan selalu kami ingat dan semoga seluruh amal baikmu diterima Allah SWT.

    BalasHapus
  4. sekarang sdh ada buku mengenai sejarah perang di kebumen dan sekitarnya kl ga salah "GELEGAR BAGELEN" judulnya

    BalasHapus

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan populer dari blog ini

Kecap Cap Kentjana, Sejak 1960 Menjaga Kualitas Rasa

Pandan Kuning

Mengenang Peristiwa Kanonade di Desa Candi (1)