Jurnalisme Beradab
PADA era jurnalistik digital, berkembang dua model perilaku jurnalistik. Pertama, adanya persaingan menyajikan berita secara cepat. Kedua, konsep bersaing mengutamakan kedalaman (indepth)yang merupakan dekonstruksi terhadap konsep pertama. Kedua model itu merupakan pilihan yang bersifat manajemen.
Kedua model itu sesungguhnya sudah menjadi pembahasan jurnalistik di era klasik , ketika media cetak masih maraja. Memasuki abad digital, dengan generasi yang terus bergerak dari milenial ke "generasi Z" untuk -- menandai angkatan kelahiran 1995 hingga 2010 -- praktik jurnalistik pun bergerak beradaptasi dalam memberi sajian kepada pembaca zaman now.
Di tengah trend demikian, bertarung pula aneka kepentingan yang berebut ruang pemberitaan, baik politik, sosial, ekonomi. Tak terkecuali aspek primordi kehidupan yang sangat sensitif. Pertarungan itu benar-benar mengguncang moralitas etis jurnalistik. Beragam kasus etis yang menjadi wacana publik bermunculan; kecewa atas ketelanjangan keberpihakan media pada kekuatan politik tertentu, unggahan bersifat hoax, persengketaan media dengan publik, hingga kasus yang diproses secara hukum sebagai pencemaran nama baik.
Muncul skeptisitas publik pada kredibilitas informasi, lantaran penilaian yang membingungkan terhadap unggahan baik media mainstream maupun media sosial. Banyak informasi yang belum matang sudah disajikan kepada publik secara tergesa-gesa, yang intinya abai terhadap penghayatan kode etik. Minimnya penghayatan etika dalam bermedia akan menggiring masyarakat ke kultur interaksi yang jauh dari beradab. Kondisi ini memunculkan anarkhisme komunikasi. (Amir Mahmud NS:2017)
Information Overload
Di era digital pers memiliki tantangan tersendiri. Informasi yang tercipta di internet, baik dalam jenis numerik, teks, gambar, audio atau video melimpah ruah. Dari tahun ke tahun jumlah informasi di internet terus meningkat tanpa terkontrol hingga menyebabkan kelebihan informasi (information overload).
Kelebihan informasi sebagai bom informasi, menurut filsuf Perancis, Paul Virilio akan berdampak pada dehumanisasi. Pada akhirnya kelebihan informasi tersebut akan menyebabkan kesulitan bagi setiap individu dalam mencari informasi yang benar-benar bernilai.
Menurut riset Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tentang wabah hoaks nasional, sebanyak 68,2% menerima hoaks lewat aplikasi chatting. Aplikasi chatting memang sangat nyaman karena praktis, tidak perlu narasi yang rumit, dan terjamin penyebarannya. (Andina Dwifatma: 2017).
Melihat kondisi di atas, maka diperlukan kemampuan literasi digital agar dapat dengan mudah dalam mencari, menemukan, mengevaluasi, membuat, memanfaatkan hingga menyebarkan kembali informasi tersebut.
Masalah utama yang dihadapi dalam praktik jurnalistik adalah persinggungan antara kemampuan teknis dan kepekaan etis dari wartawan. Meski telah memiliki kecakapan teknis, namun abai terhadap pertimbangan etis dalam menyajikan berita akan mengakibatkan kecelakaan jurnalistik.
Agar kecelakaan jurnalistik itu tak terjadi, perlunya penghayatan terhadap kode etik jurnalitik. Kode Etik Jurnalistik sesuai keputusan Dewan Pers Nomor 03/ SK-DP/ III/2006 mengandung empat asas, yaitu:
Asas demokratis. Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen. Pers mengutamakan kepentingan publik, melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional. Pers tidak boleh menzalimi pihak manapun.
Asas profesionalitas. Jurnalis harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Jurnalis dan pers harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat disertai permohonan maaf.
Asas moralitas. Sebagai lembaga, pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan maka moral menjadi landasan jurnalis menjalankan profesinya. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain tidak menerima suap, tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat, tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.
Asas supremasi hukum. Wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum. Untuk itu, dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.
Fikih Jurnalistik
Apa yang harus dilakukan oleh insan pers? Selain harus terus meningkatkan kualitas manajemen organisasi, pers harus membekali diri dengan kemampuan jurnalistik yang mumpuni sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas. Kemampuan teknis ini untuk lebih menajamkan prinsip yang diusung; jurnalisme kritis. Di atas semua itu, penghayatan terhadap kode etik pers mahasiswa sebagai rambu-rambu mutlak diperlukan agar tidak terjadi kecelakaan jurnalistik.
Harus diingat, pers ikut menanggung dosa jika terjebak dalam pengabaian etika jurnalistik. Melepas tanggungjawab atas nama kebebasan dengan minimnya verifikasi. Maka titik balik yang perlu diketengahkan ialah, setidaknya pers tidak memperunyam persoalan dengan masuk ke lini kebohongan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menyodorkan kebenaran.
Di sinilah fikih jurnalistik menjadi releven dalam konteks perlawanan fenomena berita bohong (hoax) atau berita palsu, merevitalisasi jurnalistik agar terhindar dan menghindarkan dari kesesatan. Tabayyun, konfirmasi, cek dan ricek menjadi bingkai disiplin perilaku jurnalistik. Dari sisi etika selalu menimbang dengan nurani, menilai tepat atau tidak informasi yang diangkat atau seperti apa suatu berita ditayangkan. (Faris Khoirul Anam:2009)
Sifat-sifat kenabian Muhammad SAW yakni sidik-amanah-tablig-fatanah, cukup komprehensif sebagai tuntunan penyampaian pesan. Kode etik jurnalistik bisa dikristalkan sebagai tanggung jawab paralel dengan empat sifat tersebut. Mekanisme fikih mengusik untuk bermuhasabah tentang model jurnalistik yang memanggul tanggungjawab besar kemaslahatan, sejak dari proses paling awal prosedur penyampaikan informasi.
Saat menerima informasi, selidiki kebenarannya, dan uji validitasnya. Jika benar, apakah informasi itu bermafaat. Jika membawa manfaat maka bolehlah disebarkan. Tetapi meskipun benar, namun tidak membawa manfaat dan berpotensi memicu keresahan maka sebaiknya tak disebarkan.
Hadist Rosulullah SAW, "Cukuplah seorang dinilai berdusta jika dia memberitakan setiap yang didengar"(HR Muslim). Juga dalam Alquran "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal tas perbuatannmu itu". (Surat Alhujurat:6).
Gandeng tangan fikih yang berbasis argumentasi holistik religius dengan kaidah sosial akan menuntun kerja jurnalistik dan pengguna informasi ke keadaban komunikasi. Maka apapun perkembangan bentuk medianya, nilai jurnalistik dan etikanya tetap menjadi ruh dan jiwa. (Wallahu A'lam)
شركه نقل عفش ببريده
BalasHapus