Mengenang Teguh Twan, Si Pematung Monumen Kemit

PAGI ini saya menerima kiriman gambar dari senior Pak Joko Waluyo melalui pesan pintar WhatApp. Isinya tentang kabar kematian seorang seniman, pematung, pelukis sekaligus pemahat, Teguh Twan (79).

Tahun 2011 lalu, saya pernah menuliskan kisahnya secara bersambung di media tempat saya bekerja: Suara Merdeka. 

Berita duka meninggalnya tuguh Twan.
BAGI sebagian warga Kabupaten Kebumen mungkin masih asing dengan nama Taguh Twan. Tetapi sebagian besar pasti sudah tahu hasil karyanya, paling tidak sering melihat bahkan mengaguminya. Ya, Monumen Perjuangan Rakyat Kemit di Grenggeng, Karanganyar ialah salah satu karya pematung dan pelukis senior yang sudah berusia 72 tahun itu.

Rabu, 5 Oktober pagi, saya berkunjung ke rumah seniman lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta tahun 1960 itu. Rumah kediamannya terletak persis di pinggir Jalan Pemuda No 33 Kebumen. Selain suara anjing yang menyalak, sebuah relief perempuan berambut panjang dan bertelanjang di tembok serambi seolah mengucapkan selamat datang.

Selain relief tersebut, jika dilihat dari luar, tidak ada tanda-tanda bahwa rumah tersebut dihuni oleh seorang seniman. Apalagi bagian depan rumah dimanfaatkan untuk membuka salon kecantikan “Lily Salon” oleh istrinya Lily Runawang (69). Bahkan ruang tamu disulap menjadi salon kecantikan lengkap dengan segala peralatannya.
Setelah memencet bel dua kali, dengan ramah seniman kelahiran Kebumen tahun 1939 itu langsung mempersilahkan masuk. Kami duduk di kursi ruang keluarga. Sebuah ruangan yang mirip galeri karena hampir seluruh dinding tak terlihat karena dipenuh oleh lukisan. Selain lukisan karyanya, sebagian karya yang dipajang di dinding itu merupakan karya istrinya.

Tidak hanya lukisan, ada beberapa patung dipajang. Termasuk patung diri Taguh Twan yang dibuat tahun 1980.Patung yang terbuat dari bahan campuran mil marmer dan semen itu diletakkan di pojok ruangan.  “Patung itu, saya buat sekitar sebulan, dengan mengaca di cermin,” ujar Taguh Twan menceritakan proses membuat patung tersebut.

Monumen Kemit
Disinggung mengenai Monumen Kemit, Taguh yang merupakan lulusan Jurusan Seni Patung itu berkisah, proses pembuatan monumen memakan waktu selama dua tahun yakni 1973-1975. Dalam mendesain patung tentara dan pejuang rakyat serta dalam membuat relief terlebih dahulu dia melakukan riset agar apa yang dilukiskan sesuai dengan peristiwa aslinya.

"Saya juga mewancarai pelaku sejarah pertempuran Kemit, Sidobunder, dan Peristiwa Candi,” katanya seraya menyebutkan relief sebelah barat menceritakan peristiwa Candi dan Plarangan dan bagian timur menceritakan peristiwa Sidobunder dan pertempuran di Grenggeng.

Bagi bapak tiga anak dan kakek dari lima cucu itu, saat itu langsung menyanggupi tawaran membuat monumen perjuangan meskipun dananya sangat sedikit. Untuk membuat satu patung saja, semestinya harganya Rp 10 juta atau total membutuhkan Rp 40 juta. Padahal saat itu, pemerintah hanya memiliki dana Rp 7 juta. 

“Saya tidak berpikir tetang uang. Tetapi saya berpikir ini untuk Kabupaten Kebumen dan para leluhur yang mempertahankan kemerdekaan bangsa ini,” ujarnya.

Kemudian dibuatlah rancangan patung dari tanah liat. Sebelum dicetak dengan bahan mil marmer dan semen, patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing tengah menolong tentara yang terluka itu dikonsultasikan kepada dosen yang juga pematung legedaris Handro Jasmoro. Dalam pembuatan patung dan relief Teguh dibantu oleh teman-temannya yang sedang belajar seni patung kepadanya.

Dari total Rp 7 juta itu, Taguh hanya mendapat Rp 470.000. Itu pun masih dibagikan kepada teman-temannya. Terkadang jika mereka membantu seharian diberi upah Rp 250. Tragisnya, meskipun sebagai perancang dan pembuat patung dan relief nama Taguh Twan tidak tercantum di monumen tersebut. Hingga saat dilakukan perbaikan pada tahun 2006, namanya baru dipasang. 

"Itu pun setelah ada beberapa orang yang mengaku sebagai pembuat patung dan relief itu,” imbuh pematung yang bersahabat dengan wartawan Suara Merdeka di Kebumen era tahun 1980-an, Gun Efendi (GE).

Ya, karya Teguh Twan tidak hanya Monumen Kemit. Ratusan hasil karyanya tersebar di sejumah daerah di Indonesia. Beberapa patung karyanya dipesan oleh orang Jakarta. Adapun yang di Kebumen antara lain patung kera di objek wisata Gua Jatijajar dan Gua Karangbolong.

Selain pematung, Teguh Twan merupakan seorang pelukis handal. Sebuah lukisannya “Penari Bali” dibeli oleh seorang kolektor dengan harga puluhan juta. Bahkan duplikat lukisan yang sama dipesan oleh pecinta lukisan dari Kanada.

Terus Berkarya


Bagi Twan, menjadi pelukis adalah jalan hidup. Tak heran jika di usianya yang ke-72 tahun, dia masih setia menjalani profesinya. Di usia senjanya, pria kelahiran tahun 1939 itu bertekad terus berkarya hingga tak kuasa menggoreskan kuas di atas kanvas. 

Bahkan kondisi kesehatannya yang mulai menurun akibat gejala stroke yang diderita tidak menghentikan semangatnya untuk menghasilkan karya lukisan. Namun saat ini dia konsentrasi melukis setelah terakhir kali membuat patung tahun 1992.

"Saya bersyukur, tangan saya masih bisa untuk melukis," ujar Taguh Twan yang saat berjalan mengandalkan bantuan dengan tongkat.

Teguh Twan merupakan pelukis yang beraliran naturalis realistis. Ciri khasnya, saat melukis wajah, tiap detail akan terlihat jelas. Itulah sebabnya, setiap lukisannya tampak begitu nyata, seolah-olah bernyawa.

Selain dipajang di ruang keluarga, beberapa lukisan karya pelukis senior Kebumen itu disimpan di ruang kerjanya. Tempat melukis pria yang seluruh rambutnya telah memutih itu berada di lantai dua persis di atas ruang keluarga. Di ruangan yang sedikit terbuka itu hanya ada peralatan melukis, televisi dan kursi santai. 

Suasana ruangan itu sangat tenang. Tidak begitu terdengar suara kendaraan yang lalu lalang di Jalan Pemuda. Suara burung perkutut peliharaannya ikut menyumbang susana yang menentramkan itu. Di ruang itulah Teguh Twan bersama istrinya Lily Runawang (69) menghasilkan karya lukisan.
Saat mengajak saya ke ruangan itu, Taguh tengah menyelesaikan sebuah lukisan potret pesanan. Lukisan 

tersebut hampir selesai pengerjaannya. Dia juga menunjukkan sejumlah karya-karyanya yang tidak dia jual meskipun 

banyak yang menawar. Salah satu karyanya tidak dia lepas meski ditawar oleh orang Jepang dengan harga puluhan juta.

"Akhir-akhir ini, saya melukis untuk pesanan sehingga jarang melukis untuk diri sendiri," tuturnya.

Biasanya, Teguh melukis pada pagi hingga siang hari. Sedangkan siang hingga sore dimanfaatkan untuk istirahat. Malam hari tidak dia manfaatkan untuk melukis. Mengingat cahaya lampu sering menipu, warna yang terlihat tidak sesuaiaslinya.

Sejak Kecil

Meski telah melukis sejak kecil, menghasilkan karya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terkadang Teguh menyelesaikan sebuah lukisan dalam hitungan jam, tetapi juga bisa berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu lukisan.

"Ketika lancar seperti orang kesurupan tetapi saat tidak ada ide, kayak orang linglung," kata pelukis yang mahir membuat wayang kulit itu.

Bakat melukis Teguh Twan sudah terlihat sejak kecil. Saat masih kecil dia senang dengan wayang kulit. Mula-mula Teguh kecil senang menggambar wayang. Setelah menonton bioskop, Teguh remaja berganti menggambar wajah bintang film yang disaksikannya.

"Setelah itu ganti suka menggambar teman sekolah yang cantik-cantik," ujar pelukis yang mengaku gemar melukis kecantikan perempuan itu.

Melihat bakatnya dalam bidang seni lukis, oleh gurunya Taguh disarankan kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Dia pun mendaftar dan lulus di dua pilihannya yakni Jurusan Seni Patung dan Seni Lukis. Namun akhirnya dia memilih masuk  di Jurusan Seni Patung.

"Menurut dosen saya, seorang pematung pasti bisa melukis. Tetapi seorang pelukis belum tentu mampu membuat patung," tandasnya memberi alasan.

Pada bagian lain, kendati dari ketiga anaknya tidak ada satu pun yang menuruni jejaknya, Teguh tidak mempermasalahkan. Dia berprinsip, setiap anak memiliki jalan hidupnya sendiri. Seperti saat memilih menjadi pelukis dulu, dia pun didukung oleh orangtuanya.

"Tetapi dari lima cucu, ada satu cucu saya yang memiliki bakat melukis," tandasnya. (Ondo Supriyanto)

Sugeng tindak Pak Teguh Twan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kecap Cap Kentjana, Sejak 1960 Menjaga Kualitas Rasa

Pandan Kuning

Mengenang Peristiwa Kanonade di Desa Candi (1)