Pagi Istimewa di Punggung Merapi dan Merbabu

Add caption

BEBERAPA waktu terakhir banyak tempat saya kunjungi, tapi tak satupun catatan perjalanan  saya tuliskan. Hanya foto-foto teronggok di hardisk laptop yang hampir tak menyisakan ruang kosong. Entahlah, bahkan untuk berbagi gambar di media sosial saja saya malas melakukannya.

Malam ini saya mencoba menuliskan sekelumit perjalanan saat mengunjungi  Desa Samiran, di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Sebuah desa wisata  di antara lereng Gunung Merapi dan Merbabu.

Saya bersama sejumlah jurnalis  dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Mukti Marandesa berkesempatan menikmati suasana desa di punggung Gunung Merapi dan Merbabu. Kunjungan itu difasilitasi oleh kakak Willy the Kids, teman, senior, dan komandan  yang memiliki motto “Jangan pernah lelah berbuat baik”.  Dia adalah AKP Willy Budiyanto SH MH, yang sekarang menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Boyolali.

Berangkat dari Stasiun Kebumen, pukul 12.17 WIB  kami menumpang Kereta Api Wijaya Kusuma Cilacap-Solo dan turun di Stasiun Purwosari sekira pukul 14.50  WIB.  Dua mobil “Pajero Sport” yang dijanjikan agak telat datang. Beberapa teman menunggu di warung angkringan di depan stasiun untuk sekadar mengganjal perut yang lapar.

Saya menyambar nasi bungkus berisi oseng tempe, bakwan,  dan memesan teh manis hangat. Tak butuh waktu lama, nasi oseng tinggal menyisakan bungkus. Sedangkan teh manis pun tandas tak tersisa.

Tak berapa lama,  Pajero yang dinantikan datang dan menunggu di parkiran stasiun. Pajero yang dimaksudkan adalah panas njaba njero, nenek moyang Pajero Sport yakni Mitsubishi L300. Mobil minibus produksi 1986 itu memuat 11 orang termasuk Mas Amin, sang pengemudi.

Add caption
Setelah membelah kemacetan Kota Solo, kurang dari satu jam,  rombongan sudah sampai di kota Boyolali. Destinasi pertama yang dituju adalah Waroeng Iga Bakar Pak Wid Jalan Merapi Pulisen, Siswodipuran yang tak jauh dari Perpustakaan Umum Boyolali. Sesuai namanya,  di daftar menu ditawarkan iga bakar, iga goreng, iga rebus, iga penyet dan iga gongso. Setiap menu ditawarkan dalam dua porsi, yakni porsi kecil Rp 28.000 sedangkan porsi besar Rp 38.000.
Add caption
Sedangkan aneka sambal yang menjadi pelengkap, sambal terasi mentah, sambal terasi, brambang, tomat, sambal bawang, sambal lombok ijo, brambang kecap dan sambal penyet iga Pak Wid. Satu sambal Rp 3.000 kecuali sambal brambang kecap hanya Rp 2.000. Setelah menyantap iga bakar porsi besar, saya menjadi menyesal makan oseng tempe di depan Stasiun Purwosari. Kesimpulannya, warung ini nagih, bikin pengunjung ingin balik lagi. Waroeng Iga bakar Pak Wid memang Juara...

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menandai jejak perjalanan dengan mampir ke ikon Boyolali. Yakni di Gedung Lembu Suro atau sapi raksasa. Bangunan yang dikenal dengan sapi ndekem itu dibangun di pusat perkantoran Pemkab Boyolali pertengahan November 2015. Sapi ndekem di areal tanah 18 x 12 meter, dengan luas bangunan 160 m2 dan tinggi bangunan 11 meter. Sapi raksasa  ini seolah menegaskan kabupaten dengan julukan New Zealand van Java ini sebagai Kota Susu.

Sebelum melanjutkan perjalanan, tak lupa jamaah salat maghrib di Masjid Ageng Boyolali yang juga berada di komplek  pusat pemerintah Kabupaten  Boyolali. Sebuah masjid yang Indah dan nyaman.

Kawasan Wisata Selo

Perjalanan dilanjutkan menuju kawasan wisata Selo, yakni Desa Samiran. Saya yang duduk di samping pak sopir,  ikut senam jantung saat Pajero menyusuri jalur  yang berliku. Naik lalu tikungan tajam. Naik lalu tikungan tajam. Begitu terus sampai elek.

Di sepanjang Cepogo-Selo, terdapat sebuah tikungan tajam. Saking melengkungnya, orang setempat menyebutknya sebagai tikungan  “irung Petruk”.  Pemerintah daerah kemudian membangun patung petruk menandai bahwa tikungan tersebut berkelok-kelok menyerupai hidung petruk.  Sempat berhenti, niatnya ingin foto-foto. Tetapi lantaran kawasan itu gelap tanpa penerangan, niat foto-foto itu akhirnya diurungkan.


Sampai di Desa Samiran kami disambut oleh pengelola desa wisata Samiran dan pengurus Pokdarwis Guyub Rukun. Alam di ketinggian  1.500 mdpl  pun menyambut dengan suhu dingin 18 derajat celcius. Beruntung, tuan rumah telah menyiapkan kolaborasi antara tempe bacem, jadah, jagung bakar, susu hangat, cukup membentengi tubuh dari sergapan dingin pegunungan.

Malam itu diisi dengan perkenalan, diskusi tentang pariwisata khususnya menggali dan memanfaatkan potensi lokal, dan nyanyi-nyanyi. Api unggun dinyalakan, Mocachino Band terus mengiringi teman-teman yang bergantian menyumbangkan suara, sebagian lain berjoget di sekitar api unggun yang dibakar di halaman pendopo. Tak terasa malam makin larut dan  pesta pun diakhiri dengan pergi tidur ke home stay masing-masing.

Pagi pukul 14.30 kami dijadwalkan akan pergi memerah susu sapi. Tetapi karena molor, baru pukul 05.00 semua baru bisa kumpul.  Suhu tercatat di aplikasi smartphone mencapai 10 derajat celcius. Teman-teman yang semalam masih banyak yang tidak langsung tidur, rupanya malas bangun lantaran kedinginan.

Meski terlambat, kami masih sempat praktik cara memerah susu. Susu segar hasil perahan itu oleh peternak disetorkan ke koperasi. Lagi-lagi, segelas susu segar menghangatkan badan di pagi. Perjalanan dilanjutkan menikmati sunrise di Bukit Gancik yang berada di lereng Gunung Merbabu. Dari bukit ini, wisatawan dapat menyaksikan Gunung Merapi dari sisi timur laut.  Saat cuaca cukup cerah Gunung Lawu juga bisa dinikmati dari bukit ini. Air Waduk Cengklik juga terlihat berkilauan memantulkan sinar matahari pagi.

Menurut Mas Sartono, pegiat wisata di Pokdarwis Guyub Rukun yang bertugas mendampingi kami, sebenarnya antara memerah susu dan menikmati sunrise di Gancik susah untuk bisa dijangkau secara bersamaan. Sebab, memerah susu hanya bisa dilakukan pukul 05.00.  Jika lebih dulu memerah susu baru ke Gancik, tidak bisa mendapati momentum matahari terbit.Benar saja, saat sampai di bukit itu, matahari sudah bersinar terang mengusir kabut di lereng gunung.
Duit Batok di Pasar Tiban

Add caption



Add caption
Add caption

Puas menikmati pagi di antara dua gunung itu, kami turun kembali ke Desa Samiran untuk sarapan. Kami sarapan di Pasar Tiban yang berada di sebuah jalan desa yang membelah ladang tembakau dan sayuran. Di pinggir jalan itu tampak sejumlah pedagang seperti bubur tumpang khas Boyolali, nasi rames, jadah, sayuran, susu segar hingga pedagang bakso.
Add caption
Yang menarik, adalah pembayaran di Pasar Tiban itu tidak menggunakan uang rupiah. Melainkan menggunakan duit batok kelapa yang dibentuk  bulat menyerupai uang logam.  Seluruh transaksi  di Pasar Tiban wajib menggunakan uang macam itu. Saya mendapati uang seperti itu di area pusat jajanan di Rita Supermall Purwokerto yang menggunakan uang koin plastik mirip koin main game.
Untuk wisatawan yang masuk paket diberikan modal lima keping batok, dengan satu keping senilai Rp 2.000.  Untuk membeli bubur tumpang hanya membayar dengan tiga batok, dan susu sehar hanya dua batok. Jika merasa masih kurang, pengunjung bisa menukar uang rupiah dengan duit batok di tempat penukaran yang diakan. Saya menukar Rp 10.000 dengan lima batok untuk membeli jadah dan bakso krikil.
Yang istimewa lagi, selagi menikmati sarapan dengan pemandangan gagahnya Gunung Merapi, kami disuguhi grup kesenian tradisional Buto Gedruk. Tarian yang mirip dengan tari dayakan asal Magelang itu cukup menghibur. Bahkan beberapa wisatawan tampak ikut menari bersama para seniman desa itu.  Benar-benar pengalaman yang unik, karena selain menikmati kuliner dan suasana alamnya, wisatawan juga bisa merasakan budayanya.
Usai sarapan kami mengunjungi gardu pandang New Selo. Sayang kabut menjadikan kokohnya Gunung Merbabu tak terlihat. Bahkan Gunung Sindoro Sumbing saat cuaca cerah akan dapat disaksikan di titik tersebut pun menghilang. Akhirnya destinasi berikutnya adalah mengunjungi pelaku industri kecil yakni olahan  susu “Dapur Aura” yang mengolah susu sapi menjadi dodol susu, dan permen susu. Juga mengunjungi industri kecil Kelompok Wanita Tani (KWT) Samiran Asri yang mengolah sayuran seperti keripik brokoli dan stick adas. Tak lupa membeli dodol dan permen susu, serta stick adas untuk oleh-oleh keluarga di rumah.

Add caption
Sebelum makan siang, dan berkemas pulang, destinasi terakhir adalah petik sayur di kebun warga. Dengan antusias, saat  diberikan kesempatan memanen wortel. Wortel hasil panen itu boleh dibawa pulang untuk oleh-oleh.
Mengunjungi Desa Samiran memunculkan inspirasi bagaimana menggali potensi yang ada  dan mengemasnya menjadi daya tarik wisata. Juga bagaimana memunculkan nilai tambah pariwisata utamanya bagi para pelaku wisata.
Desa Wisata Samiran memang dikelola dengan konsep community based tourism development alias pengembangan pariwisata berbasis kemasyarakatan. Masyarakat benar-benar terlibat secara langsung dalam mengelola pariwisata di desanya.
Mulai dari pengurus Pokdarwis, pemilik homestay, persewaan mobil, peternak sapi, petani sayur, pedagang makanan, hingga pelaku UMKM mendapat rejeki dari setiap kunjungan wisatawan di desa itu. (Ondo Supriyanto)

Komentar

Posting Komentar

terima kasih Anda telah memberikan komentar di blog ini

Postingan populer dari blog ini

Kecap Cap Kentjana, Sejak 1960 Menjaga Kualitas Rasa

Pandan Kuning

Mengenang Peristiwa Kanonade di Desa Candi (1)